Sabtu, 09 Oktober 2010

(TEORI ADMINISTRASI NEGARA)

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas UTS Pada Mata Kuliah
Teori Administrasi Negara






Disusun Oleh :
Agus Rukanda
(208 800 007)



JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA III/A
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SGD BANDUNG
2009


ANALISIS PENERAPAN ADMINISTRASI PUBLIK
TERHADAP PENDIDIKAN

A. DASAR PEMIKIRAN

Banyak kritik yang dilancarkan oleh berbagai kalangan terhadap pendidikan, atau tepatnya terhadap praktek pendidikan, namun hampir semua pihak sepakat bahwa nasib suatu komunitas atau suatu bangsa di masa depan sangat bergantung pada kontibusinya pendidikan. Shane (1984: 39), misalnya sangat yakin bahwa pendidikanlah yang dapat memberikan kontribusi pada kebudayaan di hari esok. Pendapat yang sama juga bisa kita baca dalam penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional (UU No. 20/2003), yang antara lain menyatakan: “Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat”.
Dengan demikian, sebagai institusi, pendidikan pada prinsipnya memikul amanah “etika masa depan”. Etika masa depan timbul dan dibentuk oleh kesadaran bahwa setiap anak manusia akan menjalani sisa hidupnya di masa depan bersama-sama dengan makhluk hidup lainnya yang ada di bumi. Hal ini berarti bahwa, di satu pihak, etika masa depan menuntut manusia untuk tidak mengelakkan tanggung jawab atas konsekuensi dari setiap perbautan yang dilakukannya sekarang ini. Sementara itu pihak lain, manusia ditutut untuk mampu mengantisipasi, merunuskan nilai-nilai, dan menetapkan prioritas-prioritas dalam suasana yang tidak pasti agar generasi-generasi mendatang tidak menjadi mangsa dari proses yang semakin tidak terkendali di zaman mereka dikemudian hari (Joesoef, 2001: 198-199).
Dalam konteks etika masa depan tersebut, karenanya visi pendidikan seharusnya lahir dari kesadaran bahwa kita sebaiknya jangan menanti apapun dari masa depan, karena sesungguhnya masa depan itulah mengaharap-harapkan dari kita, kita sendirilah yang seharusnya menyiapkannya (Joesoef, 2001: 198). Visi ini tentu saja mensyaratkan bahwa, sebagai institusi, pendidikan harus solid. Idealnya, pendidikan yang solid adalah pendidikan yang steril dari berbagai permasalahan. Namun hal ini adalah suatu kemustahilan. Suka atau tidak suka, permasalahan akan selalu ada dimanapun dan kapanpun, termasuk dalam institusi pendidikan.
Oleh karena itu, persoalannya bukanlah usaha menghindari permasalahah, tetapi justru perlunya menghadapi permasalahan itu secara cerdas dengan mengidentifikasi dan memahami substansinya untuk kemudian dicari solusinya.
Pembahasan ini berusaha mengidentifikasi dan memahami permasalahan-permasalahan pendidikan kontemporer di Indonesia. Permasalahan-permasalahan pendidikan dimaksud dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu permasalahan eksternal dan permasalahan internal. Perlu pula dikemukakan bahwa permasalah pendidikan yang diuraikan dalam makalah ini terbatas pada permasalahan pendidikan formal. Namun sebelum menguraikan permasalahan eksternal dan internal tersebut, terlebih dahulu disajikan uraian singkat tentang fungsi pendidikan. Uraian yang disebut terakhir ini dianggap penting, karena permasalahan pendidikan pada hakekatnya terkait erat dengan realisasi fungsi pendidikan.
Fungsi Pendidikan Pasal 3 UU No. 20/2003 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam rumusan pasal 3 UU No. 20/2003 ini terkandung empat fungsi yang harus diaktualisasikan oleh pendidikan, yaitu: (1) fungsi mengembangkan kemampuan peserta didik, (2) fungsi membentuk watak bangsa yang bermartabat, (3) fungsi mengembangkan peradaban bangsa yang bermartabat, dan (4) fungsi mencerdaskan kehidupan bangsa.
Noeng Muhadjir (1987: 20-25) menyebutkan bahwa, sebagai institusi pendidikan mengemban tiga fungsi. Pertama, pendidikan berfungsi menumbuhkan kreativitas peserta didik. Kedua, pendidikan berfungsi mewariskan nilai-nilai kepada peserta didik; dan Ketiga, pendidikan berfungsi meningkatkan kemampuan kerja produktif peserta didik. Kalau dibandingkan dengan fungsi pendidikan yang termaktup dalam rumusan pasal 3 UU No. 20/2003 di atas, fungsi pertama yang dikemukakan Noeng Muhadjir secara substantive sama dengan fungsi keempat menurut UU No. 20/2003.
Sedangkan fungsi pendidikan ketiga yang dikemukakan Noeng Muhadjir pada dasarnya sama dengan fungsi pertama menurut UU No. 20/2003. Sementara itu, Vebrianto, seperti dikutip M. Rusli Karim (1991: 28) menyebutkan empat fungsi pendidikan. Keempat fungsi dimaksud adalah: (1) transmisi kultural, pengetahuan, sikap, nilai dan norma ; (2) memilih dan menyiapkan peran sosial bagi peserta didik; (3) menjamin intergrasi nasional; dan (4) mengadakan inovasi-inovasi sosial.
Terlepas dari adanya perbedaan rincian dalam perumusan fungsi pendidikan seperti tersebut di atas, namun satu hal yang pasti ialah bahwa fungsi utama pendidikan adalah membantu manusia untuk meningkatkan taraf hidup dan martabat kemanusiaannya.
B. PERMASALAHAN
Berbagai masalah pendidikan di Indonesia pada saat ini diantaranya :
1. Menguatnya liberalisasi perdagangan di Indonesia,
utamanya pasca ratifikasi kesepakatan pembentukan WTO yang dituangkan dalam UU No. 7 Tahun 1994, ternyata telah memunculkan fenomena “perdagangan pendidikan”. Pendidikan cenderung dipandang sebagai komoditas dagang yang berimplikasi pada terkikisnya fungsi sosial pendidikan dan fungsi lembaga pendidikan sebagai nation building agent yang utama. Fenomena ini berbahaya bagi masa depan penegakan nilai-nilai idealisme pendidikan itu sendiri. Seterusnya akan berdampak negatif dengan spektrum sangat luas di masyarakat. Oleh karena itu masalah ini sangat urgent untuk dipahami dan dijelaskan secara ilmiah, tuntas dan mendalam untuk dicarikan jalan keluarnya. Pertanyan yang muncul : Haruskah liberalisasi perdagangan itu ditentang ataupun dibendung ? Jawabannya adalah suatu keniscayaan. Rasanya tidak akan mungkin kita menyusun suatu kekuatan yang mampu untuk merealisasikan keinginan itu. Sebaliknya, akankah liberalisasi perdagangan — yang merusak tata nilai pendidikan — itu dibiarkan begitu saja ? Keputusan ini bisa menjadi dosa besar di kalangan insan pendidikan. Oleh karena itu, liberalisasi perdagangan harus diakomodir agar bisa bersinergi dengan dunia pendidikan dewasa ini dan di masa-masa mendatang. Kiranya ini merupakan jawaban yang lebih realistis.
2. Liberalisasi perdagangan kini telah jauh berpenetrasi pada institusi pendidikan.
Hal ini berangsur merubah orientasi institusi pendidikan tersebut menjadi sebuah industri dagang yang menjauhkannya dari usaha community development. Fenomena ini telah nyata memunculkan implikasi yang sangat merugikan masyarakat, khususnya masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi. Pada simpul inilah intervensi pemerintah mutlak diperlukan. Namun dalam melakukan fungsi tersebut pemerintah senantiasa menghadapi tantangan dan keterbatasan yang sangat crucial dari dalam maupun dari luar institusinya sendiri. Muncul pertanyaan, mampukah pemerintah menjalankan fungsinya melindungi masyarakat miskin yang semakin terpuruk dalam mendapatkan akses pendidikan bermutu ? Ini merupakan masalah besar yang dihadapi Indonesia dewasa ini dan masa mendatang.
3. Pemberian prioritas utama pengembangan sektor pendidikan oleh penyelenggara Negara
Prioritas ini membawa konsekwensi yang sangat mendalam dalam pengukuran keberhasilan implementasinya. Pelayanan pendidikan oleh pemerintah harus benar-benar memenuhi kaidah normatif administrasi negara, seperti efektif (effective), efisien (efficient), berkeadilan (equitable), berkecukupan atau memadai (adequate), tepat sasaran (appropriate), dan dapat dipertanggung-jawabkan secara hukum maupun moral kepada masyarakat (responsible), dan lain sebagainya.
4. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
5. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
6. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
7. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
8. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
C. KERANGKA TEORITIS
Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia.
Aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui pendidikan-pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui ceramah-ceramah agama di masyarakat, melalui kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan ketuhanan di televisi, melalui radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserap melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.
Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah, menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.
“Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007).
D. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Permasalahan pendidikan di Indonesia masa kini sesungguhnya sangat kompleks. Makalah ini dengan segala keterbatasannya, hanya sempat menyoroti beberapa diantaranya yang dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu permasalahan eksternal dan internal. Dalam permasalahan eksternal di bahas masalah globalisasi dan masalah perubahan social sebagai lingkungan pendidikan.
Sedangkan menyangkut permasalahan internal disoroti masalah system kelemahan (dialisme dikotomi), profesionalisme guru, dan strategi pembelajaran. Dari pemahaman terhadap sejumlah permasalahan dimaksud di atas dapat disimpulkan bahwa berbagai permasalahan pendidikan yang komplek itu, baik eksternal maupun internal adalah saling terkait.
Hal ini tentu saja menyarankan bahwa pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan tidak bisa dilakukan secara parsial; yang merupakan pendekatan terpadu. Bagaimanapun, permasalahan-permasalahan di atas yang belum merupakan daftar lengkap, harus kita hadapi dengan penuh tanggung jawab. Sebab, jika kita gagal menemukan solusinya maka kita tidak bisa berharap pendidikan nasional akan mampu bersaing secara terhormat di era globalisasi dewasa ini.
B. Saran
Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dahulu.
Selain meningkatkan kualitas pendidikan, Ada beberapa strategis yang semestinya dapat kita lakukan untuk mengadaka reformasi kearah pembaharuan dan peningkatan mutu pendidikan:
1. bagi yang berwenang segera menyusunan Sistem Pendidikan Nasioanl (SPN) yang komprehensif dan aplikatif. Dengan sistem yang komprehensif, diharapkan proses dan praktik pendidikan mengalami perbaikan berkelanjutan pada semua aspek dan perangkatnya. Sistem yang aplikatif mampu mendorong proses pendidikan bermutu demi peningkatan daya saing bangsa serta pada saat yang sama bisa mendorong terbentuknya manusia Indonesia seutuhnya. Tidak terjebak pada persoalan-persoalancabang semata, semisal polemik unas yang berkepanjangan, tanpa memperhatikan esensi fungsi Ujian Nasional itu sendiri.
2. Berikutnya, dengan menyelesaikan program Wajib Belajar 9 Tahun dan meningkatkannya menjadi Wajib Belajar 12 tahun. Implikasi dari kebijakan ini adalah pemerintah wajib menyediakan segala fasilitas demi terpenuhinya kesempatan belajar bagi seluruh rakyat Indonesia seperti yang pernah terlaksana sebelumnya.
3. meningkatkan kesejahteraan dan penghargaan terhadap peran guru sebagai pilar utama pendidikan dan pembangunan bangsa. Posisi guru dan pendidik harus dihargai sebagai profesi yang mulia. Namun, peningkatan kesejahteraan guru ini tidak hanya meningkatkan gaji saja, melainkan pada saat yang sama mutu pendidikan harus lebih meningkat. Tanggung jawab sejauh mana control guru terhadap murid, terhadap proses belajar mengajar. Apakah anak didik telah mampu menerima materi yang disampaikan hingga dapat bermanfaat sebagai bekal hidup dan matinya. Yaitu dapatkan ilmu yang disampaikan bisa men-generate kecerdasan, kemampuan serta mental yang lebih baik. Karena itu, sistem penggajian harus dikaitkan dengan peningkatan kinerja dan kepribadian pengajar.
4. Dalam amanat pasal 31 ayat (4) Perubbahan UUD 1945 tentang alokasi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD secara efektif dan efisien yang disertai peningkatan pengawasan penggunaan anggaran pendidikan, agar tidak mengalami penyimpangan dan kebocoran.Terobosan dalam kebijakan perpajakan bisa dilakukan dengan menyediakan Rekening Khusus untuk Dana Pendidikan sehingga jatah penerimaan negara dapat disalurkan sebagaimana mestinya. Selain itu juga, pengeluaran swast masyarakat dalam pengembangan pendidikan bisa ditetapkan sebagai Diskon Pemotongan Pajak. Kebijakan ini selintas dianggap mengurangi penerimaan pajak, namun secara makro justru mengalokasikan pajak sesuai dengan amanat konstitusi serta membuka luas partisipasi swasta.
4. Memperhatikan efektifitas proses pendidikan dalam menanamkan jiwa kebebasan serta kemandirian melalui peningkatan keterampilan hidup (life skills) dan daya juang (adversity quotient) peserta didik. Kurikulum diarahkan kepada pengembangan pengalaman belajar yang seimbang dari aspek intelektual (IQ), emosional (EQ), dan spiritual (SQ). Sehingga terciptalah suatu kecerdasan bagi peserta didik yakni kecerdasan dalam bertindak yang bersumber dari inner power. Kecakapan hidup dalam kemandirian dapat tumbuh kembang secara alami dalam linkungan sehat yang relevan dengan kebutuhan mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan. Maka akan terbentuk suatu kesadaran untuk tidak melakukan kecurangan dalam belajar.


DAFTAR PUSTAKA

http://m.suaramerdeka.com/bb/bblauncher/SMLauncher.jad
Argo Pambudi.blogspot.com
www.mediaindonesia.com
http://www.detiknews.com.
www.suaramerdeka.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar