Selasa, 27 Maret 2012







KISI KISI SIDANG KOMPREHENSIF

1.       Teori administrasi Negara 15%
a.       Pengertian Administrasi Negara
b.      Filsafat Administrasi
c.       Perkembangan teori Administrasi Negara
2.       Sistem Administrasi Negara20%
a.       Peranan administrasi Negara dalam system pemerintahan Negara Indonesia
b.      Kedudukan dan fungsi kelembagaan Negara dan kelembagaan pemerintah
c.       Ketatalaksanaan pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintah
d.      Sistem administrasi Negara Indonesia yang bercirikan good governance
e.      Akuntabilitas dan control birokrasi
3.       Kebijakan Publik20%
a.       Keguanaan dan ruang lingkup studi kebijakan public
b.      Teori teori dan model model kebijakan public
c.       Proses kebijakan public
d.      Kebijakan public pada bagian legislative, yudikatif dan eksekutif
4.       Otda dan Desentralisasi20%
a.       Pengertian otonomi dan desentralisasi
b.      Peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan otda dan desentralisasi
c.       Implementasi otda dan desentralisasi di indonesia
5.       Hukum Tata Negara15%
a.         Objek dan metode hokum tata Negara
b.         Sejarah ketatanegaraan Indonesia
c.          Sumber-sumber hokum tata Negara
d.         Sistematika hokum tata Negara
e.         System pemerintahan
f.          System pemilihan umum
6.       Administrasi Perpajakan10%
a.       Pengertian administrasi perpajakan
b.      Teori teori perpajakan
c.       Hak dan kewajiban perpajakan
d.      Mekanisme pelaksanaan PPh, PPNBJ, PPnBM,PBB.

Nama              :
Agus Rukanda
NIM                :
208.800.007
Jur/Smstr       :
Adm. Negara/VII
Judul Kasus
Penegakan Hukum dan  Equality before the law
Sumber Berita
www.SuaraPembaruan.com, Selasa, 01 November 2011 | 12:07
Posisi Kasus
Terpidana Korupsi VS Menteri dan Wakil Menteri Hukum dan HAM
Teori
1.      Penegakan Hukum (Supremasi Hukum)
Supremasi mempunyai arti kekuasaan tertinggi(teratas).dan Hukum artinnya peraturan.Jadi, Supremasi Hukum mempunyai pengertian sebagai suatu peraturan yang tertinggi. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
(www.Multiply.com)
2.      Equality before the law (Persamaan Dihadapan Hukum)
Equality before the law dalam arti sederhananya bahwa semua orang sama di depan hukum. Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law adalah salah satu asas terpenting dalam hukum modern. Asas ini menjadi salah satu sendi doktrin Rule of Law yang juga menyebar pada negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Equality before the law berasal dari pengakuan terhadap individual freedom bertalian dengan hal tersebut Thomas Jefferson menyatakan bahwa "that all men are created equal"  terutama dalam kaitannya dengan hak-hak dasar manusia.  Pasal  27  ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.(Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)
3.      Moratorium
Dalam suatu bidang hukum, moratorium (dari Latin, morari yang berarti penundaan) adalah otorisasi legal untuk menunda pembayaran utang atau kewajiban tertentu selama batas waktu yang ditentukan. Istilah ini juga sering digunakan untuk mengacu ke waktu penundaan pembayaran itu sendiri, sementara otorisasinya disebut sebagai undang-undang moratorium. Undang-undang moratorium umumnya ditetapkan pada saat terjadinya tekanan berat secara politik atau komersial.
(Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)
4.      Remisi
Remisi adalah: pengurangan masa pidana yang diberikan kepada nara pidana dan anak pidana yang berkelakuan baik selama menjalani pidana. ( kepres No. 174/Th 1999 tentang remisi pada pasal 1)
5.      Korupsi
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. (korupsi menurut Pasal 3 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999)
Analisis Kasus
Sebagaimana kita ketahui bahwa korupsi adalah salah satu patologi dalam pemerintahan. Dalam hal ini, perlu tindakan hukum yang jelas untuk memberantasnya bukan hanya ada hitam diatas putih tetapi di buktikan dengan penegakan hukumnya. Kasus korupsi bukanlah perkara gampang. Para pelaku korupsi harus diadili tanpa pandang bulu dan dipidana sesuai peraturan yang berlaku. Terpidana korupsi yang sedang menjalani masa tahananya dan memiliki hak remisi serta pembebasan bersarat akan di berhentikan sementara (moratorium).
Hal ini masih menjadi pembahasan panjang dan masih terjadi pro dan kontra. Setiap warga negara memiliki hak dan kedudukan yang sama di hadapan hukum (Pasal 27 dan 28D UUD 1945). Remisi merupakan hak dari terpidana, tapi pelaksanaan hak itu tidak boleh melanggar hak orang lain. Dampaknya akan terasa luas serta berefek ketidakadilan bagi masyarakat. Remisi harus menyesuaikan dengan pertimbangan hukum dan rasa keadilan, terutama untuk narapidana yang menimbulkan kerugian besar bagi negara dan yang menimbulkan kecemasan di masyarakat. Para koruptor tentu saja tidak menyetujui hal tersebut, karena memperlambat proses kebebasannya dari penjara dan berusaha mencari kelemahan dari upaya Kemkumham tersebut. Moratorium tersebut melanggar hak asasi selaku warganegara dan bertentangan dengan UU dan UUD 1945. Jika dikaitkan dengan Undang-undang atau payung hukum yang mengatur tentang penangguhan hukuman (Mortorium), secara legalitas belum ada yang membatasi secara jelas tentang pembebasan bersyarat dan remisi bagi pelaku terorisme dan korupsi yang akan diberikan kepada setiap warga negara. Yang menjadi permasalahan disini, bukankah narapidana itu adalah warga negara? dalam hal ini tanpa mempersoalkan orang itu (terpidana) narkotika, teroris, korupsi. Jelaslah disini, kebijakan yang diambil oleh pihak Kemkumham untuk melakukan penangguhan/penundaan remisi masih lemah secara hukum dan rentan akan gugatan, terutama dari para koruptor yang menjadi objek dari kebijakan itu.
Bahkan Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra akan mengajukan judicial review terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Beliau mengatakan peraturan pemerintah adalah keputusan yang berlaku tetap. Keputusan yang berdasar PP ini tidak bisa dianulir hanya berdasar perintah lisan dari Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana. Ia menegaskan di dalam negara hukum, tindakan aparatur negara harus berdasar kepada hukum yang berlaku. Beliau akan melakukan judicial review dan yakin akan memenangkannya karena belum ada UU ataupun PP yang mengatur mengenai hal tersebut atau bisa dikatakan lemah secara hukum.
Moratorium pemberian remisi terhadap koruptor seharusnya tidak hanya menjadi pembicaraan semata atau kebijakan yang dibuat oleh Kemkumham semata, tetapi dibuat dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) yang ditandatangani presiden, dan merevisi UU Nomor : 12 Tahun 1995 serta UU yang terkait, supaya ada payung hukumnya dan tidak mudah mendapat gugatan dari yang berkepentingan. Selain itu, pemerintah harus menyusun parameter yang jelas tentang standar pembebasan bersyarat dan pemberian remisi.







 Contoh Kasus ::::


Moratorium Bebas Bersyarat, Koruptor Dikepung Aturan Berat

Selasa, 1 November 2011 | 12:07
SUARA PEMBARUAN,[JAKARTA] Upaya pemerintah untuk melakukan moratorium pemberian bebas bersyarat terhadap koruptor mendapat apresiasi positif dari sejumlah kalangan. Melalui moratorium pembebasan bersyarat itu, para koruptor dikepung dengan aturan-aturan yang semakin berat, sehingga efek jera akan lebih efektif.
Pandangan itu disampaikan pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar kepada SP di Jakarta, Selasa (1/11). Dia mendukung penuh ketentuan yang dikeluarkan Kementerian Hukum dan HAM (Kemkumham) yang menghentikan sementara (moratorium) pembebasan bersyarat dan pemberian remisi bagi terpidana korupsi.
“Saya mendukung dan memberikan apresiasi terhadap kebijakan itu. Kebijakan itu diharapkan bisa memberikan efek jera bagi perampok uang rakyat (koruptor, Red),” katanya.
Abdul menuturkan, ketentuan tersebut dapat menjadi salah satu indikator perubahan secara sistemik yang mengarah kepada peningkatan pemberantasan korupsi. Menurutnya, remisi merupakan hak dari terpidana, tapi pelaksanaan hak itu tidak boleh melanggar hak orang lain. Perbuatan korupsi sangat berdampak serius bagi korban, yakni masyarakat luas. Kalau koruptor diberikan remisi dan pembebasan bersyarat, hal itu akan memberikan ketidakadilan di masyarakat.
“Enak saja kalau orang korupsi sekian miliar bahkan triliun, lalu dikasih remisi bahkan dibebaskan bersyarat. Sementara, maling ayam, sebelum disidangkan bisa mati dihakimi massa,” katanya.
Dukungan serupa juga disampaikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengapresiasi kebijakan moratorium pembebasan bersyarat dan pengetatan pemberian remisi terhadap Terpidana korupsi. “Saya kira perlu diapresiasi. Artinya, ada langkah yang ditempuh,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi SP.
Johan mengatakan, memang perlu ada upaya luar biasa untuk menangani perkara korupsi. Pasalnya, korupsi adalah sebuah kejahatan luar biasa, dimana tren di dunia saat ini hukuman bagi pelaku korupsi hanya satu tingkat di bawah genosida (pembunuhan massal). “Kerusakan akibat korupsi tidak hanya ekonomi dan sosial, tetapi juga merusak demokrasi, sehingga perlu perlakuan yang luar biasa, seperti hukuman mati. Orang jadi tidak takut jika melihat pelaku korupsi dihukum lima tahun penjara, tetapi hukuman yang dijalani hanya satu tahun,” kata Johan.
Kemarin, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Amir Syamsuddin menegaskan, pembebasan beryarat bagi terpidana tindak pidana korupsi dan terorisme akan dihentikan. Sebab, hingga kini Kemkumham sudah menangguhkan permohonan pembebasan bersyarat bagi dua kejahatan luar biasa itu.
Akan tetapi, kata Amir, pembebasan bersyarat dapat diberikan kepada koruptor yang mau membongkar kasus korupsi di instansinya atau membongkar kasus korupsi yang diketahui, seperti peniup peluit dalam kasus suap cek pelawat, Agus Condro. Dikatakan, Kemkumham tidak melarang permohonan kuasa hukum dari terpidana koruptor untuk mengajukan permohonan pembebasan bersyarat terhadap kliennya, seperti yang terjadi pada terpidana kasus suap cek pelawat Paskah Suzetta.
 “Selama saya menjadi menteri, saya tidak pernah menyetujui pembebasan bersyarat, kecuali untuk Agus Condro,” ujar Menkumham.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana menambahkan, pemberian remisi dan pembebasan bersyarat untuk terpidana korupsi hanya dihentikan sementara, bukan dihilangkan. “Kami memang tidak memberikan remisi kepada terpidana korupsi, tetapi bukan berarti dihilangkan. Remisi tetap diberikan, tetapi dengan mekanisme yang sangat ketat dan dapat dipertangungjawabkan,” ujarnya.
Anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo mengatakan, penghapusan remisi bagi terpidana koruptor bisa sedikit menurunkan minat birokrat untuk melakukan korupsi. Namun, ujarnya, penghapusan remisi tersebut sebaiknya dipermanenkan dalam kebijakan atau politik hukum pemerintah agar memberi efek jera.
 “Yang harus dilakukan setelah penghapusan remisi adalah mengeluarkan kebijakan yang dapat menumbuhkan efek jera,” ujarnya.
Menurut dia, presiden sudah memberikan instruksi agar Kemkumham tidak memberikan remisi bagi terpidana korupsi, namun pidato dan pernyataan saja tak cukup untuk menegaskan pemberlakuan moratorium pembebasan bersyarat bagi terpidana koruptor, melainkan harus dibuat payung hukum. [ECS/N-8/J-9]
(Sumber : www.suarapembaruan.com)