Nama :
|
Agus Rukanda
|
NIM
:
|
208.800.007
|
Jur/Smstr :
|
Adm.
Negara/VII
|
Judul Kasus
|
Penegakan Hukum dan Equality
before the law
|
Sumber Berita
|
www.SuaraPembaruan.com, Selasa, 01 November 2011 |
12:07
|
Posisi Kasus
|
Terpidana Korupsi VS Menteri dan Wakil Menteri
Hukum dan HAM
|
Teori
|
1.
Penegakan Hukum (Supremasi Hukum)
Supremasi
mempunyai arti kekuasaan tertinggi(teratas).dan Hukum artinnya
peraturan.Jadi, Supremasi Hukum mempunyai pengertian sebagai suatu peraturan
yang tertinggi. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk
tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman
perilaku atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
(www.Multiply.com)
2. Equality before the law (Persamaan Dihadapan
Hukum)
Equality
before the law
dalam arti sederhananya bahwa semua orang sama di depan hukum. Persamaan
dihadapan hukum atau equality before the law adalah salah satu asas
terpenting dalam hukum modern. Asas ini menjadi salah satu sendi doktrin Rule
of Law yang juga menyebar pada negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Equality before the law berasal dari
pengakuan terhadap individual freedom
bertalian dengan hal tersebut Thomas Jefferson menyatakan bahwa "that all men are created equal" terutama dalam kaitannya dengan hak-hak
dasar manusia. Pasal 27
ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan
kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.(Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)
3. Moratorium
Dalam suatu
bidang hukum, moratorium (dari Latin, morari yang berarti penundaan) adalah
otorisasi legal untuk menunda pembayaran utang atau kewajiban tertentu selama
batas waktu yang ditentukan. Istilah ini juga sering digunakan untuk mengacu
ke waktu penundaan pembayaran itu sendiri, sementara otorisasinya disebut
sebagai undang-undang moratorium. Undang-undang moratorium umumnya ditetapkan
pada saat terjadinya tekanan berat secara politik atau komersial.
(Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas)
4. Remisi
Remisi adalah:
pengurangan masa pidana yang diberikan kepada nara pidana dan anak pidana
yang berkelakuan baik selama menjalani pidana. ( kepres No. 174/Th 1999 tentang remisi pada pasal 1)
5. Korupsi
Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara. (korupsi menurut Pasal 3
Undang-Udang No. 31 Tahun 1999)
|
Analisis Kasus
|
Sebagaimana
kita ketahui bahwa korupsi adalah salah satu patologi dalam pemerintahan. Dalam hal ini, perlu tindakan hukum
yang jelas untuk memberantasnya bukan hanya ada hitam diatas putih tetapi di
buktikan dengan penegakan hukumnya. Kasus korupsi bukanlah perkara gampang.
Para pelaku korupsi harus diadili tanpa pandang bulu dan dipidana sesuai
peraturan yang berlaku. Terpidana korupsi yang sedang menjalani masa
tahananya dan memiliki hak remisi serta pembebasan bersarat akan di
berhentikan sementara (moratorium).
Hal ini masih menjadi pembahasan
panjang dan masih terjadi pro dan kontra. Setiap warga negara memiliki hak
dan kedudukan yang sama di hadapan hukum (Pasal 27 dan 28D UUD 1945). Remisi
merupakan hak dari terpidana, tapi pelaksanaan hak itu tidak boleh melanggar
hak orang lain. Dampaknya akan terasa luas serta berefek ketidakadilan bagi
masyarakat. Remisi
harus menyesuaikan dengan pertimbangan hukum dan rasa keadilan, terutama
untuk narapidana yang menimbulkan kerugian besar bagi negara dan yang
menimbulkan kecemasan di masyarakat. Para koruptor tentu saja tidak
menyetujui hal tersebut, karena memperlambat proses kebebasannya dari penjara
dan berusaha mencari kelemahan dari upaya Kemkumham tersebut. Moratorium
tersebut melanggar hak asasi selaku warganegara dan bertentangan dengan UU
dan UUD 1945. Jika dikaitkan dengan Undang-undang atau payung hukum yang
mengatur tentang penangguhan hukuman (Mortorium), secara legalitas belum ada
yang membatasi secara jelas tentang pembebasan bersyarat dan remisi bagi
pelaku terorisme dan korupsi yang akan diberikan kepada setiap warga negara.
Yang menjadi permasalahan disini, bukankah narapidana itu adalah warga
negara? dalam hal ini tanpa mempersoalkan orang itu (terpidana) narkotika,
teroris, korupsi. Jelaslah disini, kebijakan yang diambil oleh pihak
Kemkumham untuk melakukan penangguhan/penundaan remisi masih lemah secara hukum
dan rentan akan gugatan, terutama dari para koruptor yang menjadi objek dari
kebijakan itu.
Bahkan Mantan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra akan mengajukan judicial review
terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Beliau mengatakan peraturan
pemerintah adalah keputusan yang berlaku tetap. Keputusan yang berdasar PP
ini tidak bisa dianulir hanya berdasar perintah lisan dari Wakil Menteri
Hukum dan HAM Denny Indrayana. Ia menegaskan di dalam negara hukum, tindakan
aparatur negara harus berdasar kepada hukum yang berlaku. Beliau akan
melakukan judicial review dan yakin
akan memenangkannya karena belum ada UU ataupun PP yang mengatur mengenai hal
tersebut atau bisa dikatakan lemah secara hukum.
Moratorium
pemberian remisi terhadap koruptor seharusnya tidak hanya menjadi pembicaraan
semata atau kebijakan yang dibuat oleh Kemkumham semata, tetapi dibuat dalam
bentuk peraturan pemerintah (PP) yang ditandatangani presiden, dan merevisi UU Nomor : 12 Tahun 1995 serta UU yang terkait, supaya ada payung hukumnya
dan tidak mudah mendapat gugatan dari yang berkepentingan. Selain itu, pemerintah harus menyusun
parameter yang jelas tentang standar pembebasan bersyarat dan pemberian
remisi.
|
Contoh Kasus ::::
Moratorium Bebas
Bersyarat, Koruptor Dikepung Aturan Berat
Selasa, 1 November 2011 | 12:07
SUARA PEMBARUAN,[JAKARTA]
Upaya pemerintah untuk melakukan moratorium pemberian bebas bersyarat terhadap
koruptor mendapat apresiasi positif dari sejumlah kalangan. Melalui moratorium
pembebasan bersyarat itu, para koruptor dikepung dengan aturan-aturan yang
semakin berat, sehingga efek jera akan lebih efektif.
Pandangan itu
disampaikan pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar
kepada SP di Jakarta, Selasa (1/11). Dia mendukung penuh ketentuan yang
dikeluarkan Kementerian Hukum dan HAM (Kemkumham) yang menghentikan sementara
(moratorium) pembebasan bersyarat dan pemberian remisi bagi terpidana korupsi.
“Saya mendukung
dan memberikan apresiasi terhadap kebijakan itu. Kebijakan itu diharapkan bisa
memberikan efek jera bagi perampok uang rakyat (koruptor, Red),” katanya.
Abdul
menuturkan, ketentuan tersebut dapat menjadi salah satu indikator perubahan
secara sistemik yang mengarah kepada peningkatan pemberantasan korupsi.
Menurutnya, remisi merupakan hak dari terpidana, tapi pelaksanaan hak itu tidak
boleh melanggar hak orang lain. Perbuatan korupsi sangat berdampak serius bagi
korban, yakni masyarakat luas. Kalau koruptor diberikan remisi dan pembebasan
bersyarat, hal itu akan memberikan ketidakadilan di masyarakat.
“Enak saja kalau
orang korupsi sekian miliar bahkan triliun, lalu dikasih remisi bahkan
dibebaskan bersyarat. Sementara, maling ayam, sebelum disidangkan bisa mati
dihakimi massa,” katanya.
Dukungan serupa
juga disampaikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengapresiasi kebijakan
moratorium pembebasan bersyarat dan pengetatan pemberian remisi terhadap
Terpidana korupsi. “Saya kira perlu diapresiasi. Artinya, ada langkah yang ditempuh,”
kata Juru Bicara KPK Johan Budi SP.
Johan
mengatakan, memang perlu ada upaya luar biasa untuk menangani perkara korupsi.
Pasalnya, korupsi adalah sebuah kejahatan luar biasa, dimana tren di dunia saat
ini hukuman bagi pelaku korupsi hanya satu tingkat di bawah genosida
(pembunuhan massal). “Kerusakan akibat korupsi tidak hanya ekonomi dan sosial,
tetapi juga merusak demokrasi, sehingga perlu perlakuan yang luar biasa,
seperti hukuman mati. Orang jadi tidak takut jika melihat pelaku korupsi dihukum
lima tahun penjara, tetapi hukuman yang dijalani hanya satu tahun,” kata Johan.
Kemarin, Menteri
Hukum dan HAM (Menkumham) Amir Syamsuddin menegaskan, pembebasan beryarat bagi
terpidana tindak pidana korupsi dan terorisme akan dihentikan. Sebab, hingga kini
Kemkumham sudah menangguhkan permohonan pembebasan bersyarat bagi dua kejahatan
luar biasa itu.
Akan tetapi,
kata Amir, pembebasan bersyarat dapat diberikan kepada koruptor yang mau
membongkar kasus korupsi di instansinya atau membongkar kasus korupsi yang
diketahui, seperti peniup peluit dalam kasus suap cek pelawat, Agus Condro.
Dikatakan, Kemkumham tidak melarang permohonan kuasa hukum dari terpidana
koruptor untuk mengajukan permohonan pembebasan bersyarat terhadap kliennya,
seperti yang terjadi pada terpidana kasus suap cek pelawat Paskah Suzetta.
“Selama saya menjadi menteri, saya tidak
pernah menyetujui pembebasan bersyarat, kecuali untuk Agus Condro,” ujar
Menkumham.
Wakil Menteri
Hukum dan HAM Denny Indrayana menambahkan, pemberian remisi dan pembebasan
bersyarat untuk terpidana korupsi hanya dihentikan sementara, bukan
dihilangkan. “Kami memang tidak memberikan remisi kepada terpidana korupsi,
tetapi bukan berarti dihilangkan. Remisi tetap diberikan, tetapi dengan
mekanisme yang sangat ketat dan dapat dipertangungjawabkan,” ujarnya.
Anggota Komisi
III DPR Bambang Soesatyo mengatakan, penghapusan remisi bagi terpidana koruptor
bisa sedikit menurunkan minat birokrat untuk melakukan korupsi. Namun, ujarnya,
penghapusan remisi tersebut sebaiknya dipermanenkan dalam kebijakan atau
politik hukum pemerintah agar memberi efek jera.
“Yang harus dilakukan setelah penghapusan
remisi adalah mengeluarkan kebijakan yang dapat menumbuhkan efek jera,”
ujarnya.
Menurut dia,
presiden sudah memberikan instruksi agar Kemkumham tidak memberikan remisi bagi
terpidana korupsi, namun pidato dan pernyataan saja tak cukup untuk menegaskan
pemberlakuan moratorium pembebasan bersyarat bagi terpidana koruptor, melainkan
harus dibuat payung hukum. [ECS/N-8/J-9]
(Sumber : www.suarapembaruan.com)