Jumat, 14 Januari 2011

peranan birokrasi

PERANAN BIROKRASI
A. Pengertian Birokrasi
Birokrasi adalah alat kekuasaan bagi yang menguasainya, dimana para pejabatnya secara bersama-sama berkepentingan dalam kontinuitasnya. Ditinjau dari sudut etimologi, maka perkataan birokrasi berasal dari kata bureau dan kratia (Yunani), bureau artinya meja atau kantor dan kratia artinya pemerintahan. Jadi birokrasi berarti pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dari meja ke meja. Max Weber memandang Birokrasi sebagai suatu istilah kolektif bagi suatu badan yang terdiri atas pejabat-pejabat atau sekelompok yang pasti dan jelas pekerjaannya serta pengaruhnya dapat dilihat pada semua macam organisasi.
Secara teoritis birokrasi adalah alat kekuasaan untuk menjalankan keputusan-keputusan politik, namun dalam prakteknya birokrasi telah menjadi kekuatan politik yang potensial yang dapat merobohkan kekuasaan. Birokrasi juga merupakan alat politik untuk mengatur dan mewujudkan agenda-agenda politik, sifat kekuasaan aparat birokrasi sebenarnya bukan tanpa kendali tetapi tetap dibatasi oleh perangkat kendali dari luar dan dari dalam. Birokrasi juga dapat dibedakan dengan dua tipe, yaitu tipe birokrasi klasik dan birokrasi perilaku.
Dalam pemerintahan, kekuasaan publik dijalankan oleh pejabat pemerintah atau para birokrat yang melaksanakan tugasnya sesuai dengan peranan dan fungsinya dalam sistem birokrasi negara dan harus mampu mengendalikan orang-orang yang dipimpinnya. Birokrasi dalam hal ini mempunyai tiga arti, yaitu :
1. Sebagai tipe organisasi yang khas;
2. Sebagai suatu sistem;
3. Sebagai suatu tatanan jiwa tertentu dan alat kerja pada organ negara untuk mencapai tujuannya.


Fritz Morstein Marx mengatakan (terjemahan) :
“bahwa tipe organisasi yang dipergunakan pemerintah yang modern untuk pelaksanaan berbagai tugas-tugas yang bersifat spesialis, dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah”.
Birokrasi juga dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang dilakukan banyak orang, birokrasi adalah tipe dari suatu organisasi untuk mencapai tugas-tugas administrasi besar dengan cara mengkoordinasi secara sistematis atau teratur pekerjaan dari banyak orang. Birokrasi sebagai suatu sistem kerja dimaksudkan sebagai sistem kerja yang berdasarkan atas tata hubungan kerja sama antara jabatan-jabatan secara langsung mengenai persoalan yang formil menurut prosedur yang berlaku dan tidak adanya rasa sentimen tanpa emosi atau pilih kasih, tanpa pamrih dan prasangka.
B. Peranan Birokrasi Dalam Pembangunan
Ada beberapa pandangan para ahli yang perlu dikemukakan dalam kaitannya dengan peranan birokrasi. Friederich Hegel, mengatakan bahwa birokrasi seharusnya melayani kepentingan umum, karena dalam kenyataannya birokrasi menguntungkan sekelompok orang/golongan. Birokrasi dapat menjembatani antara negara, yang merefleksikan kepentingan umum dengan civil society yang terdiri dari berbagai kepentingan khusus dalam masyarakat. Baron de Grimm, mengatakan adanya sebuah penyakit yang merusak birokrasi (bureaumania) yang bersifat infinitas, suatu institusi yang melakukan pengaturan terhadap suatu ketidakterbatasan wewenang dan ruang gerak di suatu negara.
Peran birokrasi dalam pembangunan merupakan bentuk kajian yang penting. Ada beberapa segi yang penting dalam praktek birokrasi yang berfungsi untuk menunjang pembangunan, yaitu adanya birokrasi sebagai alat integrasi nasional, birokrasi sebagai pelopor pembangunan dan birokrasi sebagai agen sosialisasi politik.


Praktek birokrasi yang berfungsi untuk menunjang pembangunan diantaranya :
1. birokrasi sebagai alat integrasi nasional
Bangsa Indonesia sebetulnya dapat belajar dari pengalaman negara-negara lain dan dari negara kita sendiri tentang akibat menguatnya primordialisme, sehingga keberadaan dan penguatan lembaga-lembaga integrative seperti sistem pendidikan nasional, birokrasi sipil dan militer, partai-partai politik (ideology nasionalisme yang dapat menjembatani perbedaan etnik yang tajam, Sedangkan partai etnik tidak berhasil) harus tetap dilaksanakan dengan mengingat bahwa hal ini adalah sebagai konsekuensi dari masyarakat kita yang majemuk.
Perlunya lembaga-lembaga pemersatu melalui state building dilandasi oleh pemikiran seorang ilmuwan Benedict Anderson, yang menganggap nasionalisme sebagai ideologi yang membentuk suatu masyarakat imajiner (imagined communities). Dalam masyarakat imajiner menjadi masyarakat riil juga membuktikan kebenaran teori Geertz tentang perlunya lembaga-lembaga pemersatu, sehingga ketika pencetus ideology nasionalisme para founding father sudah meninggal, negara bangsa masih tetap bertahan dan tidak terjadi disintegrasi.
a. Birokrasi sipil dan militer
Lembaga integrative yang paling dominant dan paling penting yang mutlak diperlukan adalah kekuatan militer (TNI), yang jika diperlukan dapat memakai penguasaan dan monopolinya atas alat-alat kekerasan (alat peralatan perang – alat utama sistem persenjataan) untuk mempertahankan dan bahkan untuk membangun negara bangsa. Dalam kerangka pemikiran tradisional bahkan gejala universal kaum militer di dunia, peranan militer sebagai benteng terakhir (mean of the last resort) mempertahankan kebutuhan negara bangsa. Hal ini dapat dilihat sikap keras dari militer terhadap gerakan-gerakan separatis maupun kedaerahan (primodialisme), sebagai contoh kudeta militer di Pakistan di bawah Jenderal Musharaf, kepulauan Fiji, Rusia di bwah Presiden Vladimir Putin menghadapi separatis Chechnya, dan Srilanka menghadapi gerilyawan etnik Tamil serta TNI dan Polri menghadapi gerakan-gerakan separatis maupun kedaerahan di Indonesia mulai dari RMS tahun 1950, sampai masalah GAM di Aceh dan Papua Merdeka di Papua.
b. Partai Politik.
Lembaga partai politik di Indonesia merupakan perwujudan dari ideology nasionalisme yang paling berhasil. Ideologi nasionalisme yang dibawakan oleh Partai Politik di Indonesia cukup berhasil, partai politik yang berideologi nasionalisme dapat menjembatani perbedaan etnik yang tajam, ini dapat dibuktikan oleh sejarah bahwa partai politik yang berazaskan etnik boleh dikatakan kurang berhasil bahkan gagal total.
c. Sistem Pendidikan Nasional
Sistem pendidikan nasional menjadi alat integrasi nasional terutama karena sifatnya yang menciptakan elite nasional yang kohesif. Pendidikan nasional mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi, menjadi alat pemersatu baik melalui kurikulum nasiional, bahasa pengantar maupun sistem rekrutmen siswa, mahasiswa maupun tenaga pengajar yang bersifat nasional. Dalam suasana otonomi daerah sekarang ini diusahakan adanya ujian lokal tetapi yang berstandar nasional, demikian juga walaupun ada ide untuk menambah muatan kurikulum lokal/kedaerahan, namun tetap kurikulum inti mengajarkan ilmu sosial dan humaniora yang bersifat integratif dan nasional.
Sifat integratif lainnya adalah pemakaian bahasa pengantar yakni bahasa Indonesia sebaga bahasa nasional disamping penggunaan bahasa lokal/daerah yang diberlakukan untuk pendidikan tingkat SD/SLTP. Cara ini akan memudahkan integrasi ke dalam sistem nasional dan sosialisasi yang sama untuk seluruh warga negara.
2. birokrasi sebagai pelopor pembangunan
Perkembangan birokrasi berkaitan dengan sistem politik yang digunakan. Aktor-aktor birokrasi sangat berperan dalam menjalankan misi birokrasi yakni melakukan pelayanan publik dengan sebaiknya. Konsepsi pembangunan politik di negara berkembang dimulai dan dirintis terutama oleh Pye. Pembangunan telah banyak dikonstruksikan dalam berbagai konsep atau teori oleh para teoritisi masalah pembangunan. Dalam perspektif pembangunan politik, Lucian W Pye merumuskan sepuluh aspek pembangunan yaitu; Sebagai prasyarat politik bagi pembangunan ekonomi, sebagai ciri khas kehidupan politik masyarakat industri, sebagai modernisasi politik Nation Building,. sebagai administrasi dan hokum, sebagai mobilisasi dan partisipasi massa, sebagai pembinaan demokrasi, sebagai stabilitas dan perubahan teratur, sebagai mobilisasi dan kekuasaan, sebagai satu segi proses perubahan sosial yang multi dimensi.
Dengan begitu, peran negara bukan karena kepentingan sektor swasta, tetapi harus untuk kepentingan semua atau umum, menempatkan negara dalam kerangka masyarakat demokratis yang posisinya berbeda-beda itu. Transformasi peran negara dalam mengembangkan otonomi negara diletakkan dalam kerangka agenda-agenda negara dan kemampuan negara dalam mengeksekusi kepentingan umum.
Menurut Miliband bahwa negara-negara kapitalis dewasa ini, menitiberatkan pada sektor publik di mana pemerintah memainkan peran pada sektor ekonomi kapitalis dengan jalan regulasi, koordinasi, perencanaan dan kontrol. Negara harus juga melayani sektor-sektor swasta, dan tanpa keterlibatan negara dalam memberikan kredit, subsidi dan lainnya. Intervensi negara dalam setiap aspek kehidupan ekonomi itu bukan hal baru dalam sejarah kapitalisme, model ini diterapkan pada misalnya Jerman, Jepang dan negara kapitalis lainnya.
Negara modern melalui pemerintahnya memperoleh kekuasaan melalui masyarakat (power through society), bukan mendapat kekuasaan di atas masyarakat (power over society). Dengan pemahaman seperti itu, maka masyarakat memiliki hak untuk menjalankan fungsi check and balances terhadap jalannya kekuasaan negara atau mandat yang diberikan masyarakat sejak awal negara didirikan. Negara yang lemah berpotensi melahirkan otoritarianisme. Fukuyama (2005) juga menjelaskan bahwa negara memerlukan kapasitas yang seoptimal mungkin dalam menyelenggarakan pemerintahan yang efektif. Hubungan antara masyarakat dengan negara diletakkan dalam kerangka advokasi hak-hak individu serta memperjuangkan akses kesejahteraan sosial bagi warga dan memperkuat habituasi demokrasi pada akar rumput. Dalam kaitan ini juga diperlukan relasi antara masyarakat, negara dan stakeholder (pasar).
Pembenaran sektor negara menjadi mutlak diperlukan agar menghadirkan pelayanan publik yang memadai dan pemerintahan yang akuntabel. Kebijakan-kebijakan negara harus didorong agar melahirkan regulasi yang memihak kepada masyarakat dan peningkatan kapasitas mereka.
Pemerintah memiliki elite birokrasi sebagai aktor utama yang memainkan peranannya. Adalah fakta bahwa negara bukanlah sesuatu, tetapi negara itu memiliki sejumlah institusi yang mengatur realitas dan berinteraksi satu sama lain, hal ini disebut dengan system negara.berbagai kekuatan negara dapat berfungsi untuk mengembangkan sistem negara. Persepsi kita tentang pemerintahan dan negara adalah sesuatu yang bersamaan. Namun weber menegaskan bahwa ada perbedaan antara keduanya, kalau pemerintah dapat memonopoli legitimasi tentang misalnya territorial. Negara tidak dapat mengklaim apapun, tetapi belum tentu pemerintahan itu menunjukkan diri sebagai sesuatu yang kuat, karena dia juga harus mewakili suara negara. Karl Mannhein mengatakan aspek fundamental dari semua pemikiran birokrasi adalah bagaimana membawa masalah politik kedalam masalah administrasi. Aparatur negara seperti pegawai negeri tidak boleh memainkan peran sebagai aktor kekuasaan negara, tetapi dalam rezim yang lemah, pegawai negeri dalam birokrasi itu akan memainkan peranan dalam pengambilan keputusan.
Dalam negara kapitalis, seringkali terjadi pelaku bisnis atau konglomerat memasuki dunia politik. Di Amerika Serikat, pengusaha adalah kelompok yang terbesar dalam kabinet antara 1889-1949, dengan total jumlah pengusaha yang menjadi anggota kabinet sebesar 60 persen. Meskipun pada masa presiden Eisenhower (1953-1961) mengalami penurunan. Sebagai contoh anggota kabinet Inggris (1886-1950) sepertiganya adalah pengusaha termasuk tiga perdana menteri, Bonar Law, Baldwin dan Chamberlain. Dominasi pengusaha juga dilakukan pada sector finansial dan perkreditan. Pengusaha inilah yang kemudian berkembang menjadi elite ekonomi dalam negara kapitalis. Dahrendoft mencatat bahwa kelas menengah mendominasi dalam rekruitmen kekuatan elite dalam kebanyakan negara-negara di Eropa saat ini, hanya terdiri dari 5 persen kalangan yang berpengaruh, perstasi dan mendapatan tinggi.
Sementara, Max Weber mengungkapkan bahwa perkembangan birokrasi cenderung mengeliminasi kelas elite itu akibat sistem administrasi dan kewengangan mereka yang lebih baik serta factor kesejahteraan. Perkembangan ini menurut Weber merubah proses sosial dalam pelayanan negara, yang membawa serta masyarakat dalam kelas pekerja, yang umumnya dari kelas menengah ke bawah, kedalam posisi elite dalam sistem negara tersebut. Dalam perkembangan hal ini pun melahirkan kelas menengah professional, dimana diberbagai aspek kehidupan manusia laki dan perempuan dilahirkan dalam kelas subordinat yang berasal dari mayoritas penduduk. Mereka mengisi berbagai posisi sebagai administrasi, militer dan hakim yang mereka memiliki kesempatan berkompetisi dalam politik. Oleh karena itu, demokrasi, kesetaraan, mobilitas sosial, masyarakat tanpa kelas adalah fakta yang berkembang dalam negara-negara kapitalis.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa baik di negara-negara berkembang maupun negara-negara kapitalis pun, peranan birokrasi dan elit-elit didalamnya masih memainkan peranan kunci dalam pembangunan secara umum dan dalam pembangunan politik. Dan dengan kerangka seperti itu, maka dapat mengarah kepada sistem politik yang demokratis.
3. Birokrasi sebagai agen sosialisasi politik
Dalam konteks politik negara Indonesia dengan sistem demokrasi Indonesia yang berdasarkan kepada demokrasi Pancasila. Secara langsung maupun tidak langsung arah politik Indonesia mengarah kepada kandungan butir-butir yang terdapat dalam Pancasila Itu sendiri. Kebudayaan Politik terbentuk sesuai dengan Pancasaila sebagai bagian dari falsafah hidup pada masa orde baru.
Dalam proses penyerapan nilai-nilai, harus terjadi komunikasi dua arah, antara pemerintah dengan rakyat dan sebaliknya. Konsepnya, dalam penyerapan nilai yang terjadi di Demokrasi Indonesia dilakukan dalam dua arah : Pertama, jalur komunikasi yang terjadi secara top down - komunikasi dilakukan oleh pemerintah dengan melakukan penurunan nilai-nilai politik kepada masyarakat.
Didalam sistem politik demokrasi maka proses sosialisasi yang terjadi adalah penurunan nilai-nilai pancasila kepada masyarakat dengan berbagai cara dan pola yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan upaya tersebut masyarakat selanjutnya mengerti dan memahami maksud dan tujuan Pancasila itu sendiri, selanjutnya dengan pemahaman yang dimiliki oleh individu atau masyarakat, akan diaktualisasikan dalam pola tingkah laku mereka sehari-hari. Aktualisasi dan agregasi kepentingan yang dilakukan disesuaikan dengan nilai-nilai yang diserap dan difahami oleh masyarakat.
Hal yang perlu diingat bahwa sosialisasi politik amat terkait dengan kebudayaan politik yang juga pada akhirnya akan mempengaruhi partisipasi politik. Demikian halnya partisispasi politik sangat dipengaruhi oleh Status Sosial Ekonomi (SEE) seseorang. Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas masih berada dalam kelompok SEE rendah dan kurang mampu untuk membiayai pendidikan, tidak membawa pengaruh banyak terhadap perkembangan terhadap orientasi politiknya kepada arah yang lebih baik. Dengan Sistuasi demikian, kemungkinan yang akan terjadi adalah kebudayaan yang parokhial, dimana individu tidak mengetahui sama sekali mengenai proses-proses politik dari struktur maupun fungsi politik. Hal itulah yang sekarang juga masih terjadi di Indonesia.
Dalam penyerapan nilai-nilai, adalah merupakan hal yang wajar jika masih terdapat upaya penyerapan nilai-nilai dari genarasi ke generasi dengan cara-cara yang konvensional. Penyerapan terhadap nilai-nilai dengan kondisi masyarakat yang demikian dilakukan dengan cara yang pelan-pelan serta memerlukan waktu yang sangat panjang. Bagaimana mungkin seseorang dengan kebudayaan parokhial, dapat menyerap nilai-nilai dengan baik tanpa mengerti apa yang harus dilakukan dengan situasi yang terjadi dalam perpolitikan Indonesia. Terdapat dua bentuk pemikiran utama yang ingin disampaikan oleh nilai Pancasila kepada masyarakat Indonesia yang majemuk dengan kompleksitas permasalahan sebagai sebuah bangsa, yaitu pengembangan konsep kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan/perwakilan dan proses pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah dan mufakat.
Dalam konsep yang pertama terkandung pemikiran bahwa tidak mungkin sebuah bangsa yang demikian besar memiliki keterwakilan masing-masing untuk memeberikan pendapat atau suara. Dengan jumlah penduduk yang demikian besar ada kepentingan-kepentingan yang diakomodir untuk merefleksikan keinginan masyarakat melalui perwakilan-perwakilan yang akan melakukan agregasi kepentingan di lembaga-lembaga perwakilan. Nilai politik yang terkandung dalam konsep diatas adalah bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat. Sedangkan nilai politik yang terkandung dalam konsep yang kedua adalah, pertimbangan/keputusan dilakukan dengan melakukan pemufakatan dari berbagai golongan masyarakat secara minoritas maupun mayoritas yang hasilnya akan menjadi keputusan bersama. Dengan demikian sistim politik demokrasi Indonesia berdasarkan kepada kedaulatan rakyat yang disalurkan melalui badan konstitusiaoal rakyat tertinggi yakni MPR, didalamya terdapat DPR yang berisi wakil-wakil rakyat dan badan-badan tinggi lainnya.
Jika diamati, selama masa Orde baru sikap perwakilan tak sempat terwujud bahkan masih diperdebatkan oleh publik politik. Cukup beralasan jika banyak kalangan justru mempertanyakan peran dan fungsi parlemen Orde Baru : Absahkan parlemen mengklaim diri sebagai wakil rakyat? Proses pembentukan dan eksistensi Dewan itu selama masa Orde Baru dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip keterwakilan.
Kedua, jalur komunikasi secara bottom up – masyarakat dapat menyerap nilai-nilai kemudian menyumbangkan nilai-nilainya kepada sistem politik atau kepada masayaratnya sendiri. Mungkin saja proses penyerapan tersebut tidak terjadi secara langsung melainkan ditampung kemudian diteruskan kembali pada saat terjadinya proses sosialisasi. Dalam bagian ini ide yang akan disampaikan adalah bahwa terjadi penurunan nilai-nilai akibat adanya keinginan masyarakat terhadap perubahan situasi yang kemudian dihimpun dan menjadi kebudayaan politik bangsa Indonesia. Perlu diperhatikan bahwa penurunan nilai-nilai juga terjadi secara horizontal, antara individu dan individu, individu dan masyarakat yang berimplikasi terhadap penurunan nilai-nilai secara vertikal.
Agen-agen Sosialisasi Politik dalam Sistem Politik Indonesia adalah merupakan lembaga-lembaga yang sudah terinternalisasi dalam masyarakat. lembaga-lembaga tersebut adalah keluarga, kelompaok bemain (peer group)/ kontak politik langsung, teman sekolah, pekerjaan dan media masa. Seorang individu tersosialisasi di bidang politik tidak hanya melalui satu sarana saja. Seorang individu dapat tersosialisasi politik melalui berbagai macam sarana yang ada. Berbagai sarana yang ada itu dapat dialami oleh seorang individu dalam proses sosialisasi secara bersama-sama. Hal seperti ini sangatlah mungkin karena hidup seseorang tidak hanya didalam suatu lingkungan yang tertentu saja, tetapi yang bersangkutan juga hidup didalam berbagai lingkungan lainnya secara bersama-sama.
Sebagai alat integrasi nasional, praktek birokrasi mempunyai peran yang berbeda antara negara maju dan negara berkembang. Selain itu terdapat beberapa faktor penentu yang dapat mempengaruhi integrasi nasional. Ketiga peran di atas hanyalah sebagian kecil dari peran birokrasi yang beraneka ragam.
Pelaksanaan birokrasi berhubungan erat dengan perangkat pelaksananya, yaitu para administrator. Mereka memiliki kewenangan untuk menentukan garis-garis kebijakan birokrasi yang didasarkan atas pertimbangan rasional dan pengalaman yang dimilikinya. Hal ini bukan berarti mereka bebas menentukan kebijakan dengan sebesar-besarnya, tetapi mereka hendaknya berpegang pada segi etika yang merupakan pedoman bagi administrator untuk menjalankan roda pembangunan seoptimal mungkin berlandaskan pada nilai-nilai moral yang terkandung dalam etika pembangunan.














KESIMPULAN

Berdasarkan beberapa uraian dan penjelasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini:
1. Birokrasi Indonesia menggambarkan bahwa: (a) birokrasi cenderung mengatur segenap segi kehidupan masyarakat dan negara; (b) dalam usahanya melayani masyarakat menggunakan pola Top down approach yang diterapkan oleh birokrasi cenderung semakin meningkat dan meluas sampai tingkat desa; (c) dalam usaha mempercepat pembangunan, birokrasi melakukan pembangunan besar-besaran dan dimotivasi melalui pentargetan.
2. Pemberdayaan masyarakat dengan ciri-ciri demokratisasi, kesetaraan masyarakat dengan pemerintah, kebebasan berbicara, kebebasan berkreativitas, hak untuk merencanakan, hak untuk mengelola asset lokal, hak untuk mengawasi jalannya roda pemerintahan, hak untuk menikmati jerih payah sebagai buah pembangunan adalah sekaligus tujuan yang akan dituju oleh gerakan pemberdayaan masyarakat.
3. Unsur-unsur yang dapat mempercepat terjadinya pemberdayaan masyarakat di antaranya: (a) kemampuan politik mendukung; (b) suasana kondusif untuk mengembangkan potensi secara menyeluruh; (c) motivasi; (d) potensi masyarakat; (e) peluang yang tersedia; (f) kerelaan mengalihkan wewenang; (g) perlindungan dan; (h) awarness (kesadaran).












DAFTAR PUSTAKA

Blow, Peter dan Marshall, W. Meyer. 1987. Birokrasi dalam Masyarakat Modern. Terjemahan Gerry R. Yusuf. Jakarta: UI Press.
Moerdiono. 1992. Birokrasi dan Administrasi Pembangunan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Suhendra, K. 2006. Peranan Birokrasi dalam Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Alfabeta.
www.wikipedia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar