Selasa, 23 November 2010

kebijakan publik

1. Pengantar
Kebijakan sebagai instrumen pengelolaan pemerintahan merupakan mata rantai utama dalam operasionalisasi fungsi kepemerintahan (governance). Sebagai mata rantai utama, jika kebijakan itu keliru atau tidak tepat dalam menangani persoalan di dalam negara, konsekuensinya adalah kegagalan pemerintah dalam fungsi implementatifnya. Permasalahan kebijakan yang terjadi umumnya baru dirasakan saat sebuah kebijakan tersebut dilaksanakan, para pembuat kebijakan (policy maker) atau pelaksana (implementor) baru menjerit dan sadar akan kesalahannya ketika terjadi kondisi implementasi yang buruk (bad implementation).
Dalam kondisi yang teramat sulit, kebijakan tersebut justru akan menghasilkan penolakan atau pengabaian oleh elemen-elemen yang secara legal terlibat di dalamnya. Dalam konteks ini, pemerintah telah bertindak sangat tidak efektif karena telah mengeluarkan demikian banyak energi untuk suatu kebijakan yang tidak mampu diimplementasikan, apalagi mampu mengatasi masalah kebijakan secara tuntas.
Ada persoalan proses kebijakan yang paling pokok terjadi, yaitu sesuatu yang disebut sebagai kesalahan tipe ketiga; yaitu memecahkan masalah yang salah. Rasionalitas yang dikembangkan terhadap sebuah isu kebijakan dilakukan dengan pilihan yang tidak disadari, tidak kritis serta justru sering mengacaukan secara serius konseptualisasi masalah substantif dan solusinya yang potensial (Hoss, Tribe dalam Hutagalung, 2008).
Dengan Buku yang berjudul Prinsip Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara ini maka, akan menjadi sangat vital dalam proses bagaimana merumuskan suatu kebijakan negara dengan menggunakan model mode perumusan dari para ahli sehingga nantinya tidak keliru merumuskan suatu kebijakan karena yang terkena dampaknya ketika dikeluarkan nanti tidak hanya individu yang merasakan sendiri, tapi juga seluruh masyarakat yang ada di dalam negara tersebut


2. Profile Buku

a. Badan Pemilik : Lemhannas
b. Jumlah Exemplar : 1
c. No Klasifikasi : No panggil 350 Isl p
d. Pengarang : Islamy, M Irfan
e. Judul Buku : Prinsip Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara; M.Irfan Islamy
f. Edisi : Cetakan 13
g. Tempat Terbit : Jakarta
h. Penerbit : Bumi Aksara
i. Tahun Terbit : 2004
j. Deskripsi Fisikx : 131 hal
k. Bahasa : Indonesia




















3. Isi Buku
BAB I
ADMINISTRASI NEGARA DAN KEBIJAKSANAAN NEGARA
Nicholas Henry, telah menyatakan bahwa pada abad 20 ini, birokrasi pemerintah telah menjadi ajang perumusan kebijaksanaan Negara dan penentu utama kemana negeri ini akan menuju. Sedangkan Nigro dan Nigro menyatakan bahwa administrasi Negara mempunyai peranan yang sangat penting dalam merumuskan kebijaksanaan Negara dan oleh karena nya merupakan bagian dari proses politik.
1. Paradigma administrasi Negara
Robert T Golembewski, menyatakan bahwa paradigma-paradigma administrasi Negara dapat dipelajari melalui locus atau focusnya. Locus menunjukan tempat dimana administrasi Negara itu menggantungkan dirinya atau darimana ia berasal, sedangkan focus membahas tentang pokok bahasan (content analysis) dari administrasi Negara tersebut.
a. Paradigma dikotomi poitik dan admnistrasi
Frank J Goodnow, menyatakan bahwa pemerintah mempunyai dua fungsi, yakni fungsi politik yang ada kaitannya dengan pembuatan kebijaksanaan atau perumusan peernyataan keinginan Negara, serta fungsi administrasi adalah yang berkenaan dengan pelaksanaan kebijksanaan-kebijaksanaan tersebut.
Paradigma yang pertama ini menekankan pada locus administrasi Negara yaitu dipusatkan pada birokrasi pemerintahan.
b. Paradigma prinsip-prinsip administrasi
Pada paradigma ke-2 ini, pusat perhatiannya pada focus admnstrasi Negara. W F Willoughby dalam bukunya yang berjudul “principle of public administration” mengemukakan adanya prinsip-prinsip administrasi dalam setiap jenis organisasi apapun. Aspek locusnya bersifat ubikitos (ada di mana-mana), karena menurut paradigma ini sekali prinsip akan tetap menjadi prinsip dan sekali administrasi tetap adminstrasi.
c. Paradigma adminstrasi sebagai ilmu politik
Adminstrasi Negara kembali pada induk disiplinnya yaitu ilmu politik dan locusnya adalah pada birokrasi pemerintahan tetapi focusnya semakin berkurang.
d. Paradigma administrasi Negara sebagai ilmu administrasi
Ilmu adminstrasi adalah merupakan studi gabungan teori organisasi dan ilmu manajemen. Teori organisasi dengan menggunakan bantuan dari ilmu jiwa social, administrasi niaga, administrasi Negara dan sosiologi, sedangkan ilmu manajemen mempercayakan bantuan pada statistic, computer, analisis system, ekonomi dan sebagainya.
e. Paradigma adminstrasi Negara sebagai administrsi Negara
Nicholas Henry dalam bukunya “public administration and public affairs” tersebut, mengemukakan adanya paradigma administrasi Negara baru, dimana focus administrasi Negara adalah teori organisasi dan ilmu manajemen dan locusnya adalah kepentingan public dan masalah-masalah public.
2. Administrasi Negara sebagai proses politik
Jelas sekali bahwa peranan lembaga-lembaga pemerintahan bukan hanya melaksanakan kebijaksanaan Negara tetapi juga berperan dalam merumuskan kebijaksanaan tersebut. Peranan kembar yang dimainkan oleh lembaga-lembaga pemerintahan tersebut memberikan gambaran betapa pentingnya peranan administrasi Negara dalam proses politik. Jelasnya, peranan adminsitrasi Negara dalam proses politik semakin dominan, yaitu terlibatnya daam proses peerumusan kebijaksanaan Negara dan pelaksanaan kebijaksanaan Negara tersebut. Atau dengan kata lain, administrasi Negara tidak hanya memainkan peran instrumental saja melainkan juga aktif dalam peran politik. Setiap kebijaksanaan Negara, maka secara ipso facto juga terlibat dalam proses politik.
3. Kebijaksanaan Negara dan kepentingan public
Menurut konsep demokrasi modern, kebijaksanaan Negara tidaklah hanya berisi cetusan pikiran dan pendapat para pejabat yang mewkili rakyat, tetapi opini public juga memiliki porsi yang sama besarnya untuk di isikan dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan Negara. Setiap kebijaksanaan Negara harus selalu berorientasi pada kepentingan public.
Administrator public disebut dministrator public karena ia memiliki peranan dan kewajiban yang khusus, yaitu suatu peran public dan kewajiban public (a public role and public obligation). Tidak semua administrator public menyadari akan hal ini, sehingga apakah par administrator public itu telah benar-benar menjalankan fungsinya dengan baik ataukah belum.
Dalam hubungan ini, Goerl memberikan gambaran tentang adanya 3 macam perbedaan administrator public yaitu sebagai birokrat, sebagai pemain politik dan sebagai professional.
Administrator public sebagai birokrat mmpunyai karakteristik sebagai pelaksana kebijaksanaan yang telah dirumuskan oleh superior politiknya (pembuat kebijaksanaan). Administrator public sebagai pemain politik dalam artian bahwa ia berusaha bekerja untuk memuaskan kepentingan public atas nilai-nilai kemansiaan dan selalu mempertahankan kepentingan dan selalu mempertahankan kepentingan orang tidak punya. Dan administrator public sebagai professional adalah sesuai dengan profesionalisme yang dimilikinyaia berfungsi dan mempunyai posisi sebagai perumus kebjaksanaan Negara yang berorintasi pada kepentingan public. Peran administrator public sebagai professional ini adalah merupakan potret dministrator public yang benar-benar berfungsi sebagai abdi masyarakat, dimana dalam melayani kepentingan public didasarkan pada etika profsionalnya.
Selanjutnya Harmon, menyarankan suatu model pembuatan kebijaksanaan Negara yang menunjukan hubungan peran administrator public dengan kepentingan public. Modelnya disebut dengan “policy formulation grid”. Kisi perumusan ini menggambarkan keterlibatan administrator public baik secara eksplisit maupun implicit dalam pemilihan kebjaksanaan Negara, yang ditunjukan dengan tingkat kaitan/hubungan antara suatu kebijaksanaan Negara dengan kepntingan public.
Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam proses pembuatan kebijaksanaan Negara administrator public idak boleh bersikap hampa nilai “value laden”, dengan lebih banyak memperhatikan kepentingan public, sehingga pengertian public dalam administrasi public menjadi lebih bermakna.
4. Pengertian kebijaksanaan Negara
Kebijaksanaan diberi arti yang bermacam-macam. Harold D Lasswel dan Abraham Kplan member arti kebijaksanaan sebagai “a projected program of goal, values and precties” (suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah).
Carl J Friedrick, mendefinisikan kebijaksanaan sebagai “…..serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap palaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujun tersebut.
James E Anderson, bahwa kebijaksanaan adalah serangkain tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yan diikutidan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah.
Dan Amara Raksasataya mengemukakan kebijaksanaan sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapau suatu tujuan. Oleh karena itu kebijaksanaan memiliki 3 elemen penting yaitu:
a. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai,
b. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang di inginkan, dan
c. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.
Thomas R Dye, mengemukakan kebijaksanaan sebagai “is whatever government choose to do or not to do” (apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan ataupun tidak dilakukan). George C Edward III dan Ira Sharkansky mengartikan kebjaksanaan Negara sebagai “….adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijaksanaan Negara itu berupa sasaran-sasaran dan tujuan program-program pemerintah”.
David Easton, memberikan arti kebijakasanaan Negara sebagai pengalokasian nilai-nilai secara paksa kepada seluruh anggota masyarakat.
Akhirnya dalam suatu glossary administrasi Negara diberikan arti kebjaksanaan Negara sebagai berikut:
a. Susunan rancangan tujuan-tujuan dan dasar-dasar pertimbangan program-program pemerintah yang berhubungan dengan masalah-masalah tertentu yang dihadapi masyarakat
b. Apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan,
c. Masalah-masalah yang kompleks yang dinyatakan dan dilaksanakan oleh pemerintah.
Dengan demikian kebijaksanaan adalah seerangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau orientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan sluruh masyarakat.
Pengertian kebijaksanaan Negara tersebut diatas mempunyai implikasi sebagai berikut:
a. Bahwa kebijaksanaan Negara itu dalam bentuk perdananya berupa penetapan tindakan-tindakan pemerintah,
b. Bahwa kebijaksanaan Negara itu tidak cukup hanya dinytakan tetapi dilaksanakan dalam bntuknya yang nyata,
c. Bahwa kebijaksanaan Negara baik untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu itu mempunyai dan dilandasi dengan maksud dan tujuan,
d. Bahwa kebijaksanaan Negara itu harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan seluruh anggota masyarakat.

BAB II
DARI PEMBUATAN KEPUTUSAN KE PERUMUSAN KEBIJAKSANAAN
1. Perbedaan dan persamaan pembuatan keputusan dan perumusan kebijaksanaan
William R Dill merupakan definisi suatu keputusan sebagai berikut “….suatu keputusan adalah suatu pilihan terhadap berbagai macam alternative”. Pembuatan keputusan administrative biasanya sulit diartikan sebagai suatu pilihan tunggal diantara alternative-alternative. Kebanyakan keputusan-keputusan seperti itu sebenarnya terdiri dari serangkaian pilihan-pilihan dan ikatan-ikatan yang telah ditetapkan secara berurutan.
Nigro dan Nigro berada pada pihak yang tidak membedakan antar pembuatan keputusan dan pembuatak kebijaksanaan dengan mengatakan bahwa tidak ada peerbedaan yang mutlak dapat dibuat antara pembuatan keputusan dan pembuatan kebijaksanaan karena setiap penentuan kebijaksanaan adalah merupakan suatu keputusan. Tetapi kebijaksanaan-kebijaksanaan membentuk rangkaian-rangkaian tindakan yang mengarahkan banyak macam keputusan-keputusan yang dibuat dalam rangka melaksanakan tujuan-tujuan yang telah dipilih.
Bintoro Tjokroamidjojo, membedakan pengertian pembuatan keputusan dan pembatan kebijaksanaan, dengan mengatakan “pembentukan kebijaksanaan atau policy formuation sering juga disebut policy making dan ini berbeda dengan pengambilan keputusan. Karena pengambilan keputusan adalah pengmbilan pilihan sesuatu dari alternative dari berbagai alternative yang bersaing mengenai sesuatu hal dan selesai. Sedang policy making meliputi banyak pegambilan keputusan. Jadi menurut Tjokroamidjojo apabila pemilihan alternative dilkukan hanya sekali dan selesai, maka kegiatan tersebut disebut pembuatan keputusan. Sebaliknya bila pemilihan alternative tersebut dilakukan terus menerus dilakukan dan tidak pernah selesai, maka kegiatan tersebut disebut perumusan kebijakan.
2. Factor-faktor yang mempengaruhi pembuatan keputusan/kebijaksanaan
Beberapa factor yang mempengaruhi pembuatan kebijaksanaan itu adalah sebgai berikut:
a. Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar.
b. Adanya pengaruh kebiasaan lama
c. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi
d. Adanya pengaruh dari kelompok luar
e. Adanya pengaruh keadaan masa lalu
Selain itu James E Anderson meihat adanya beberapa macam nilai yang melandasi tingkah laku pembuat keputusan dalam pembuatan keputusan, yaitu:
a. Nilai-nilai politis,
b. Nilai-nilai organisasi,
c. Nilai-nilai pribadi,
d. Nilai-nilai kebijaksanaan,
e. Nilai-nilai ideology.
Beberapa kesalahan yang sering terjadi dalam proses pembuatan kebijaksanaan menurut Nigro dan Nigro, adalah sebagai berikut:
a. Cara berpikir yang sempit (cognitive nearsightedness)
b. Adanya asumsi bahwa masa depan akan mengulangi masa lalu (assumption that future will repeat past)
c. Terlampau menyederhanakan sesuatu (over simplification)
d. Terlampau menggantungkan pada pengalaman satu orang (overreliance on one’s own experience)
e. Keputusan-keputusan yang dilandasi oleh pra konsepsi pembuat keputusan (preconceived nations)
f. Tidak adanya keinginan untuk melakukan percobaan (unwillingness to experiment)
g. Keengganan untuk membuat keputusan (reluctance decide)
3. Cara-cara meningkatkan perumusan kebijaksanaan
Sesuai dengan pendapat Dror tentang paradigma yang baru tersebut, maka ilmu-ilmu kebijaksanaan seharusnya:
a. Berhubungan, terutama dengan system-sistem pembinaan masyarakat, khususnya system perumusan kebijaksanaan Negara.
b. Memusatkan perhatiannya pada system-sistem pembuatan kebijaksanaan Negara pada jenjang makro (subnasional, nasional dan transnasional).
c. Bersifat interdisipliner, dengan memusatkan ilmu-ilmu perilaku dan manajemen serta menyerap elemen-elemen yang relevan dari disiplin-disiplin ilmu pengetahuan lainnya seperti ilmu fisika dan teknik.
d. Menggabungkan penelitian murni dan terapan, dimana dunia nyata adalah merupakan laboratoriumnya yang utama.
e. Memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman para pembuat kebijaksanaan dan melibatkan mereka sebagi partner dalam membangun ilmu-ilmu kebijaksanaan.
f. Mencoba untuk menyumbangkan pada pilihan nilai dengan meniliti implikasi-implikasi nilai tersebut dan isi nilai-nilai yang ada pada kebijaksanaan-kebijaksanaan alternative.
g. Mendorong adanya kreativitas yang terorganisir seperti dalam menemukan altenatif-alternatif yang baru.
h. Menekankan baik pada pengembangan-pengembangan pembuatan kebijaksanaan masa lalu maupun antisipasinya pada masa depan sebagai pedoman pembuatan kebijaksanaan.
i. Teribat secara intensif dengan proses perubahan dan dengan kondisi-kondisi perubahan social.
j. Menghargai proses pembuatan kebijaksanaan ekstra rasional dan irasional seperti intuisi dan charisma dan mencoba memperbaiki proses ini dengan cara rasional.
k. Mendorong percobaan social dan usaha-usaha untuk menemukan lembaga-lembaga social yang baru dan hokum-hukum baru bagi perilaku social dan politik.
l. Mempunyai kesadaran akan dirinya sendiri dan secara tetap memonitor serta mendesain kembali ilmu-ilmu kebijaksanaan.
m. Menyiapkan para professional untuk memenuhi jabatan-jabatan pembuat keputusan yang tidak akan mencampurkan missinya atau identifikasi dirinya dengan orientasi klinis dan analisa rasional terhadap masalah-masalah kebijaksanaan.
n. Berhati-hati dalam membuktikan kebenaran dan keberhasilan data dan mempertahankan standar ilmiah.
Butir-butir dalam paradigm Dror tersebut memang mencakup aspek yang luas yang diperlukan dalam menjadikan policy science berguna bagi policy maker dalam merumuskan kebijksanaan Negara yang lebih baik. Kebaikan dan kemanfaatan paradigmanya Dror tersebut tentu saja masih perlu diuji baik melalui eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh para perumus kebijaksanaan Negara dengan menilai dampak positif dan negatifnya, ataupun melalui diskusi-diskusi para ahli dibidang ilmu-ilmu kebijaksanaan guna memperoleh pengakuan ilmiah.
BAB III
BEBERAPA MACAM MODEL
PERUMUSAN KEBIJAKSANAAN NEGARA
1. Kegunaan Model
Perumusan kebijaksanaan Negara akan lebih mudah dipelajari apabila menggunakan sesuatau pendekatan atau model tertentu. Para ahli politik telah mengembangkan berbagai macam pendekatan atau model yang akan dapat membantu kita untuk memahami kehidupan pilitik (political life), pemerintahan, proses kebijaksanaan, dan sebagainya.
2. Beberapa macam model
Yehezkel Dror mengemukakan adanya 7 (tujuh) macam model pembuat keputusan, yaitu:
a. Pure Rationality Model
b. Economically Rational Model
c. Sequenta – Decision Model
d. Incremental Model
e. Satisfying Model
f. Extra – Rational Model
g. Optimal Model
Nicholas henry mengelompokkan tipologi analisis model kebijaksanaan Negara menjadi 2 (dua) klasifikasi besar, yaitu :
1) Kebijaksanaan Negara dianalisa dari sudut proses
a. Institusional
b. Elit-massa
c. Kelompok
d. Sistem
2) Kebijaksanaan Negara dilihat dari sudut hasil dan akibat (efek) nya.
a. Rational comprehensive
b. Incremental
c. Mixed scanning
Berikut ini akan diuraikan masing masing model tersebut dengan mengikuti kedua macam pengelompokkan diatas.
a. Model institusional
Model ini adalah merupakan model yang tradisional dalam proses pembuatan kebijaksanaan Negara. Fokus atau pusat perhatian model ini terletak pada struktur organisasi pemerintah.
Menurut Thomas R. Dye , lembaga-lembaga pemerintah itu memberikan kebijaksanaaan Negara triga ciri utama, yaitu :
1) Lembaga pemerintah itu memberikan pengesahan (legitimasi) terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan Negara.
2) Kebijaksanaan itu bersefat universal.
3) Hanya pemerintah yang memegang hak monopoli untuk memaksa secara sah kebijaksanaan-kebijaksanaannya pada anggota masyarakat.
Gambar 1 : Model Institusional






KABINET
Kekurangan pada model ini telah diperbaiki dengan timbulnya “ model institusional baru “ (Neo- Institusionallisme) dengan tekanan pada peranan lembaga-lembaga politik dalam proses perumusan kebijaksanaan Negara, tettapi lebih dipfokuskan pada pembuatan ramalan-ramalan teoritis tentang bagaimana hubungan antara berbagai macam kebijaksanaan Negara itu dengan semua level pemerintahan.
b. Model Elit – Massa
Model ini memandang administrator Negara bukan sebagai “ abdi rakyat “ (servant of people) tetapi lebih sebagai kelompok-kelompok kecil yang telah mapan. (The Establish-ment).
Kelompok elit yang bertugas membuat dn melaksanakan kebijaksanaan digambarkan dalam model inisebagai mampu bertindak/berbuat dalam suatu lingkungan yang ditandai dengan sikap masa yang apaiis, kerancuan infortmasi sehingga massa menjadi pasif. Kebijaksanaan negra mengalir dari atas kebawah. Menurut teori elt massa ini, rakyatr bersifat apatis dan buta terhadap informasi tetang kebijaksanaan Negara, sedangkan kelompok elit mampu membentuk dan mempengaruhi massa terhadap masalah-masalah kebijaksanaan Negara.
Model elit-massa ini dapat dirumuskan secara singkat sebagai berikut :
1) Msyarakat dibagi menjadi dua yaitu kelompok kecil (golongaqn elit) yang mempunyai kekuasaan (penguasa) dan kelompok besar (golongan non-elit) yang tidak punya kekuasaan (dikuasai).
2) Kelompok elit yang berkuasa tidak mempunyai tipe yang sama (berbeda) dengan kelompok non elit yang dikuasai.
3) Perpindahan posisi/kedudukan dari non-elit ke elit harus diusahakan selambat mungkin dan terus menerus untuk mempertahankan stabilitas dan menghindari pergolakan (revolusi).
4) Golongan elit menggunakan consensus tadi untuk mendukung nilai nilai dasar dan system social dan untuk melindungi system tersebut.
5) Kebijaksanaan Negara tidaklah menggambarkan keinginan massa tapi keinginan elit.
6) Golongan elit yang aktif relative sedikitsekali memperoleh pengaruh dari massa yang apatis/pasif. Elitlah yang mempengaruhi massa dan bukan massa yang mempengaruhi elit.
Gambar 2 : Model Elit-Massa

Arah Kebijaksanaan

Pelaksanaan
Kebijaksanaan



c. Model Kelompok
Model ini menganut paham teori kelompoknya David B. Truman dalam bukunya “ The Governmental Process” (1951) yang menyatakan bahwa interaksi diantara kelompok-kelompok adalah merupakan kenyatan politik. Individu-individu yang memiliki kepentingan yang sama mengikatkan baik secara formal maupun informal dalam kelompok kepentingan (interest group) yang dapat memejukan dan memaksakan kepentingan-kepentingannya kepada pemerintah.
Truman mengartikan kelompok kepentingan sebagai suatu kelompok yang memiliki sikap yang sama yang mengajukan tuntutan-tuntutan terhadap kelompok yang lain didalam masyarakat.
Menurut teori kelompok, kebijaksanaan Negara itu adalah merupakan perimbangan yang dicapai sebagai hasil perjuangan kelompok. Untuk menjaga perimbangan tersebut maka tugas/peranan system politik adalah menengahi konflik yang terjadi diantara kelompok-kelompok tersebut.Sebagaimana dikatakan oleh Thomas R. Dye, tugas system politik adalah menengahi konflik antar kelompok dengan cara:
1) Membuat aturan permainan dalam percaturan antar kelompok.
2) Mengatur kompromi dan menciptakan keseimbangan dan kepentingan-kepentinganyang berbeda.
3) Mewujudkan kompromi-kompromi tersebuit dalam bentuk kebijaksanaan Negara.
4) Memaksakan berlakunya kompromi-kompromi bagi semua pihak.

Gambar 3 : Model Kelompok

Kelompok kepentingan A
Kelompok
Kepentingan B

Pembuat Kebijaksanaan


Tekanan Tekanan


Dampak Kebijaksanaan Dampak Kebijaksanaan
Yang cocok untuk kelompok B yang cocok untu kelompok A

Jadi kesimpulannya, kebijaksanaan Negara menurut model ini adalah merupakan keseimbangan yang dicapai dari perjuangan kelompok kepentingan yang berbeda-beda.
d. Model Sistem-Politik
Model system politik ini diangkat dari uraian sarjana politik David Easton dalam “The Political System”. Model ini didasarkan pda konsep-konsep teori informasio (inputs, withinput, output dan feedback) dan memandang kebijaksanaan negara sebagai respon suatu system politik terhadap kekuatan-kekuatan lingkungan (social, politik, ekonomi, kebudayaan, geografis, dan sebagainya) yang ada di sekitarnya. Sehingga dengan demikian kebijaksanaan Negara dipandang oleh model ini sebagai hasil (output) dari system politik.
Tuntutan-tuntutan timbulo bila individu-individu atau kelompok-kelompok setelah memperoleh respons dari adanya peristiwa peristiwa dan keadaan-keadaan yang ada dilingkungannya berupaya mempengaruhi proses pembuatan kebijaksanaannegara. Suatsystem politik akan menyerap berbagai macam tuntutan (baik dari dalam maupun luar) dan dapat terjadi bahwa diantara tuntutan-tuntutan tersebut tidak relevan atau bertentangan satu sama lain.
INPUT WITHINPUT OUTPUT
• Demands
• Support
• Resources The political
system • Decisions
• Actions
• Policies

Gambar 4 : Model Sistem – Politik

Environment Environment Environment



Feedback
Environment Environment

Setelah selesai membicarakan penganalisaan kebijaksanaan Negara dari sudut pendekatan proses , maka berikut ini akan diuraikan beberapa macam pendekatan dari sudut dilihat dari sudut hasil atau efek.
a. Model Rational Comprehensive
Model rasional – komprehensif ini didasarkan atas teori ekonomi atau konsep manusia ekonomi. Dapat dikatakan bahwa suatu kebijaksanaan yang rasional itusuatu kebijaksanaan yang sangat efisien, dimana rasio antara nilai yang dicapai dan nilai yang dikorbankannya adalah positif dan lebih tinggi dibandingkan dengan alternative-alternatif yang lain.
Menurut Yehezkel Dror, salah satu penganut model rasional komprehensif, untuk membuat kebijaksanaan yang rasional, maka pembuat ebijaksanaan harus :
1. Mengetahui semua nilai nilai utama yang ada pada masyarakat
2. Mengetahuai semua alternative alternative kebijaksanaan yang tersedia.
3. Mengetahui konsekuensi konsekuensi dari setiap alternative kebijaksanaan.
4. Menghitung rasio antara tujuan dan nilai nilaisosial yang dikorbankan bagi setiap alternative yang dikorbankan bagi setiap alternative kebijaksanaan.
5. Memilih alternative kebijaksanaan yang paling efisien.
Berdasarkan hal diatas, perumusan kebijaksanaan Negara, menurut model rasional-komprehensif. Mengikuti aliran (sequence) sebagai berikut :
1. Pembuat kebijaksanaan dihadapkan dengan suatu masalah tertentu yang dapat diisolasikan dari masalah masalah lain yang dinilai mempunyai arti yang besar dibandingkan dengan masalah masalah lain.
2. Berdasakan atas masalah masalah yang ada ditangan pembuat kebijaksanaan tersebut kemudian dipilih dan disusun tujuan tujuan dan nilai nillai sesuai dengan urut urutan pentingnya.
3. Kemudian pembuat kebijaksanaan menentukan atau menyusun daftar semua cara-cara atau pendekatan pendekatan (alternative-aternatif) yang mungkn dapat dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan atau nilai-nilai tadi.
4. Pembuat kebijaksanaan seterusnya meneliti dan menilai konsekuensi-konskuens masing-masing alternative kebijaksanaan tersebut diatas.
5. Selanjutnya hasil penelitian dan penilaian dari masing-masing alternative itu dibandingkan satu sama lain konsekuensi-konsekuensinya.
6. Akhirnya, pembuat kebijaksanaan memilih alternative yang terbaik yaitu yang nilai konsekuensi-konsekuensinya paling cocok dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Diantara sekian banyak ahli yang memuji kebaikan model ini menyatakan sebagai berikut:
Lutrin dan Settle : Pendekatan rasional-komprehensif harus dipandang sebagai suatu prosedur yang optimal atau suatu pendekatan yang banyak diinginkandiberbagai keadaan.
Henry : … model rasional menjelaskan tentang bagaimana kebijaksanaan Negara itu seharusnya dibuat dilembaga pemerintahan, atau bagaimana unsure-unsur dalam proses konversi yang berfungsi mengubah masukan-masukan dari lingkngan menjadi keluaran keluaran itu seharusnya diatur secara optimal. Hal inilah yang menjadikan model rasional begitu berharga bagi administrasi Negara karena sedikit dikitnya dengan satu kata, model ini berhubungan dengan bagaimana kebijaksanan itu dibuat secara lebih baik.
Sharkansky : Rasionalitas adalah suatu nilai yang telah diterima secaraluas pada kebudayaan kita. Diharapkan para administrastor public juga menjadi rasional sepeti kita juga.
Anderson : Mungkin teori pembuatan keputusan yang banyak dikenal dan juga mungkin yang banyak/secara luas ditrima adalah teori rasional-komprehensif.
Lindblom mengatakan bahwa penerapan pembuatan keputusan dengan model rasional-komprehensif akan mengalami banyak hambatan-hmbatan dan kelemahan, yaitu :
1. Tidak akan ada nilai nilai masyarakat yang sepenuhnya disepakati oleh anggota-anggotanya, tetapi hanya beberapa nilai-nilai dari kelompok-kelompok dan individu-individu tertentu saja dan itupun banyak yang bertentangan satu sama lain.
2. Nilia nilai yang saling bertentangan itu tidak dapat diperbandingkanatau nilai bobotnya.
3. Lingkunagn pembuat kebijaksanaan khususnya system kekuasaandan system kepemimpinan, menyebabkan mereka tidak mungkin melihat atau menilai bobot nilai-nilai masyarakat secara tepat, khususnya nilai-nilai yang tidak memiliki lawan yang aktif atau sangat kuat.
4. Para pembuat kebijaksanaan tidak termotivasiuntuk membuat keputusan-keputusan atas dasar tujuan-tujuan masyarakat, tetapi hanya untuk sebesar mungkin keuntungan mereka sendiri: kekuasaan, status, pengangkatan kembali, uang dan seterusnya.
5. Para pembuat kebijaksanaan tidak termotivasi untuk memaksimumkan pencapaian tujuan tetapi sematamata untuk memuaskan/memenuhi tuntutan-tuntutan untuk tetap maju.
6. Banyak invesasi-investasi yang besar yang terdapat pada program-progam dan kebijaksanaan kebijaksanaanyang ada (sunk costs) menghalangi para pembuat kebijaksanaan untuk mempertimbangkan kembali alternative-alternatif yng pernah dipilih pada pembuatan keputusan-keputusan sebelumnya.
7. Terdapat sejumlah besar hambatan-hambatan untuk mengumplkan semua informasi yang diperlukan untuk mengenali semua alternative kebijaksanaan yang memungkinkan dan akibat akibat/ konsekuensi-konsekuensi masing-masing alternative tersebut, termasuk biaya pengumpulan informasi serta adanya informasi serta waktu yang diperlukan untuk mengumpulkannya.
8. Tidak adanya kemampuan meramal yang cukup baik pada ilmu-ilmu social dan perilaku, maupun ilmu-ilmu fisika dari biologi sehingga memungkinkan para pembuat kebijaksanaan dapat memahami semua konskuensi-konsekuensi setiap alternative kebijaksanaan.
9. Para pembuat kebijaksanaan kendatipun dibantu dengan teknik-teknik analisa computer yang paling maju tidak akan mampu menghitung secara tepat rasio biaya keuntungan bilamana terdapat sejumlah besar nilai-nilai politik, sosila, ekonomi, dan kebudayaan yang berbeda-beda.
10. Para pembuat kebijaksanaan memiliki kebutuhan-kebutuhan pribadi, keterbatasan-keterbatasan, penyimpangan-penyimpangan yang dapat menghalangi mereka melakukan sesuatu secara rasional.
11. Ketidakpastian tentang akibat-akibat tentang berbagai macam alternative kebijaksanaan memaka para pembuat kebijaksanaan berhenti berusaha setelah menemukan alternative-alternatif kebijaksanaan yang mendekati/ mirip dengan alternative kebijaksanaan sebelumnya untuk mengurangi akibat-akibatyang tidak diinginkan.
12. Sifat pembuatan kebijaksanaan yang berjenjang-jenjang yang berbeda-beda dalam birokrasi-birokrasi yang besar telah menyebabkan timbulnya kesulitan dalam mengkoordinasikan pembuatann keputusan sehingga masukan-masukan dan berbagai macam spesialis perlu dipertemukan untuk sampai kepada keputusan yang diinginkan.
Gambar 5 : Model Rasional-Komprehensif












b. Model Incremental
Model “disjointed incrementalism” didasarkan atas teori seorang sarjana ekonomi Chares E. Lindblom yang menjelaskan tentang proses pembuatan keptusan didalam karyanya yang erjudul “ the science of muddldlling through”.
Inkremental model ini memandang kebijaksanaan Negara sebagai suatu kelanjutan kegiata kegiatan pemerintah dimasa lalu dengan hanya mengbahnya sedikit-sedikit. Model incremental ini adalah merupakan kritik dan perbaikan terhadap model rasional-komprehensif. Karakteristik yang terdapat pada model incremental jelas berbeda dengan model rasional komprehensif.
Scara sederhana kitadapat mempelajari dan membandingkan perbedaan karakteristik kedua model itu sebagai berikut:
Rasional-komprehensif Inkremental
1 2
1. Penentua nilai-nilai dan tujuan-tujuan berbeda dari dan biasanya merupakan prasarat untuk mengadakan analisa empiris terhadap alternative-alternatif kebijaksanaan.


2. Perumusan kebijaksanaan oleh karenanya didekati melalui analisa cara tujuan. Pertama tujua ditentukan kemudian dicari cara-cara untuk mencapai tujuan itu.


3. Penentuan suatu kebijaksanaan dapat dikatakan “baik” ditentukan atas dasar pemilihan cara-cara yang paling tepat untuk pencapaian tujuan yang diinginkan.




4. Analisa dilakukan secara paripurna/komprehensif setiap factor yang relevan dan penting harus dipertimbangkan secara seksama.






5. Sangat didasarkan pada teori. 1. Pemilihan nilai-nilai/tujuan-tujuan dan aalisa empiris terhadap tindakan yang diperlukan tidak berbeda satu sama lain tetapi saling berkaitan.


2. Karena cara dan tjuan tidak berbeda, maka analisa cara-tujuan seringkali tidak tepat atau terbatas.



3. Penentuan suatu kebijaksanaan itu dikatakan “baik” bila bebagai pembuat keputusan itu melakukan itu melakukan, memberikan kesepakatan secrara langsung terhadap kebijaksanaan yang dibuat (tanpa mereka harus setuju bahwa itulah cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan).

4. Analisa dibatasi secara drastic :
a. Tidak/kurang memperhatikan kemungkinan-kemungkinan untuk memperoleh hasil yang paling penting.
b. Tidak/kurang memperhatikan alternative-alternatif kebijaksanaan yang paling potensial.
c. Tidak/kurang memperhatikan nilai-nilaiyang paling berpengaruh

5. Serangkaian kegiatan mebandingkan ebijaksanaan yang lama dengan yang baru banyak menghalangi/menghilangkan peranan teori.

Secar singkat Terry W. Hartie menyimpulkan karakteristik ke[utusan yang incremental itu sebagai berikut :
1. Pembuat keputusan tidak berupaya/berusaha meneliti dan menilai secara komprehensif semua alternative, melainkan memusatkan semua perhatiannya hanya kepeda kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berbeda secara incremental (berbeda sedikit) dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ada (terdahulu).
2. Hanya sejumlah kecil alternative-alternatif kebijaksanaan yang dipertimbangkan.
3. Setiap alternative kebijaksanaan, hanya sejumlah konsekuensi-konsekuensi akibat-akibat kebijaksanaan penting yang terbatas saja yang dinilai.
4. Setiap masalah yang menantang pembuat keputusan secara terus menerus diredefinisikan. Inkrementalisme member kesempatan penyesuaian tujuan-cara dan cara-tujuan yang tidak ada hentinya dengan tujuan agar masalahnya dapat diselesaikan secara lebih mudah.
5. Tidak aka nada keputusan atau pemecahan masalah yang dianggap “benar”, tetapi merupakan serangkaian “serangan” yang tidak pernah ada hentinya terhadap masalah yang ada melalui serangkaian analisa dan penilaian. Dan
6. Sehubungan dengan itu, maka pembuatan keputusan incremental digambarkan bersifat mengobati (remedial), lebihdiarahkan pada pemecaha masalah-masalah social yang konkrit yang ada sekarang dan bukannya untuk meningkatkan pencapaian tujuan-tujuan social dimasa yang akan dating.
Serangan yang gencar terhadap model incremental ini tentu saja berasal dari lawan modelnya yaitu penganut model rasional-komprehensif. Berikut ini kritik penganut model rasional-komprehensif terhadap model incremental :
1. Karena ia hanya membenarkan untuk mengadakan perubahan-perubahan yang kecil, model incremental hanya berorientasi pada status quo dan menganggap program-program dan prosedur-prosedu yang ada sekarang jauh lebih baik atau sedikit-dikitnya lebih dapat dipraktekan daripada program-progran dan prosedur-prosedur yang didasarkan atas model rasional.
2. Sasaran-sasaran atau tujuan-tujuan yang tepat biasanya tidak ditentukan telebih dahulu maka penilian terhadap program akan menjadi sulit atau tidak mungkin dilakukan.
3. Faktor-faktor yang penting yang akan berpengaruh terhadap keputusan sering kali tidak diperhatikan/tidak dipertimbangkan oleh pembuat keputusan, lebih-lebih lagi penyimpangan (biasa) pribadi atau profesi pembuat keputusan sering bepengaruh pada keputusan-keputusannya.
4. Tekanan-tekanan dari kelompok kepentingan terlampau berpengaruh, dimana hal ini sebenarnya tidak diinginkan oleh individu-individu tidak secara tepat terwakili oleh kelompok kepentingan tersebut, dan semua kelompok-kelompok yang mungkin mempunyai suatu kepentingan dalam keputusan tidak dimintakan saran-sarannya.
5. Koordinsi sulit dilaksanakan, karena satu keputusan mungkin berpengaruh pada banyak keputusan yang lain, tetapi perhatian yang sistematis biasanya tidak diberikan untuk meramalkan dampak-dampak seperti itu.
6. Biasanya, perhatian kurang diberikan pada pentingnya/kebutuhan dan efisiensi, dimana dana dikeluarkan dengan tanpadiikuti ukuran keuntungannya.
7. Inkremental terlampau mudah mengabaikan kebutuhan untuk membuat rencana dan hanya memulai program-program yang baru pada sekala kecil atau atas dasar percobaan/eksperimen. Hal ini mungkin dapat mengembangkan adanya paham politik program-programyang kurang baik akan bertahan dan ini dapat pula terjadi pada organisasi-organisasi besar.
8. Inkremental sering sulit atau tidak mungkin menyampaikan kepada orang-orang laintentang alas an-alasan menapa keputusan itu dibuat.

c. Model Mixed Scanning
Seorang ahli sosiologi yang bernama Amitai Etzioni setelah mempelajari dengan seksama kedua model pembuatan keputusan sebelumnya, kemudian mencetuskan suqatu model pembuatan keputusan hibrida (gabungan unsure-unsur kebaikan yang ada pada model rasional komprekensif dan inkremantal yang disebut model Mixed Sanning).
Etzioni membedakan dua jenis keputusan yaitu contex tuating (fundamental) decisions yaitu keputusan-keputusan yang dibuat melalui suatu penejelajahan terhadap alternative utama yang dilihat oleh pembuat keputusan sesuai dengan konsepsi tujuan yang akan dicapainya, dan bit (incremental) decisions yaitu keputusan keputusan yang dinuat secara incremental yang didasarkan pada keputusan keputusan fundamental, yang telah dibuat sebelumnya. Menurut Etzioni kebaikan model mixed scanning adalah setiap elemen/unsure pada maing-masing jenis keputusan diatas (fundamental dan inkremental) cenderung saling menciptakan keseimbangan (counter balance) terhadap masing masing kekurangannnya.
Etzioni melukiskan proses pembuatan keputusan dengan menggunakan mixed scanning dengan menggunakan metafora observasi cuaca dunia melalui pemanfaatan duajenis kamera sebagai berikut :
Misalnya kita akan menyusun system observasi cuaca dunia dengan menggunakan satelit cuaca. Pendekatan rasionalistis akan melakukan survey keadaan-keadaan cuaca secara keseluruhan dengan menggunakan kamera yang mampu melakukan observasi secara detail dan mengamati terus-menerus sesering mungkin keadaan seluruh langit. Hal ini akan menghasilkan sesuatu pengamatanyang detail, penganalisaan yang menentukan, biaya yang besar dan cenderung melampaui kemampuan tindakan kita (yang misalnya dengan membuat ranking formasi awal yang dapat menimbulkan angin topan atau menimbulkan hujan diwilayah luas).
Inkremental akan memusatkan perhatiannya pada wilayah-wilayah tersebut dimana dikembangkan pola pola yang sama seperti tahun terakhir dan mungkin pada beberapa daerah yang dekat saja, dengan demikian dia memberikan semua formasi formasi awan yang mungkin membutuhkan perhatian yang seksama bila awan-awan itu muncul didaerah-daerah yang tidak diharapkan.
Suatu strategi mixed scanning akan mencakup elemen-elemen pada dua pendekatan diatas dengan dua macam kamera : yaitu satu kamera dengan sudut bidik yang luas yang akan meliputi semua bagian langit tetapi tiodak begitu detail, dan kamera yang kedua akan memusatkan perhatiannnya hanya pada daerah-daerah yang telah diamati oleh kamera pertama dengan sasaran-sasaran tertentu yang memerlukan pengamatan yang lebih mendalam. Dengan mixed scanning mungkin kita akan kehilangan daerah-daerah yang hanya mungkin dapat dijangkau dengan menggunakan satu kamera yang secara detail dapat menjelaskan permasalahannya, tetapi yang ini jelas sedikit berbeda dengan inkrementalisme yang secara nyata akan melewatkan bagian bagian yang akan bias menimbulkan masalah didaerah-daerah yang tidak dikenali.
Dari metafora tersebut diatas jelas sekali bahwa pendekatan (model) mixed scanning memanfaatkan dua acam pendekatan sebelumnya secara flexible yaitu sangat tergantung dari maslah dan situasinya. Dalam beberapa hal pendekatan rasional-komprehensif akan diterapkan bila “high coverage scanning” diperlukan dan beberapa hal yang lain bila “truncated scanning” diperlukan maka pendekatan incremental mendapatkan gilirannya. Dengan adanya pendekatan mixed scanning yang kompromistis ini telah menyadarkan kita tentang adanya kenyataan-kenyataan yangsangat penting yaitu bahwa kwputusan-keputusan itu tidak sama atau berbeda-beda baik ruang lingkup maupun dampaknya, sehingga pendekatan pembuatan keputusan berbeda diperlukan untuk jenis keputusan yang berbeda pula.

BAB IV
PROSES PERUMUSAN
KEBIJAKSANAAN NEGARA
Membuat atau merumuskan suatu kebijaksanaan, apalagi kebijaksanaan negara bukanlah suatu proses yang sederhana dan mudah. Hal ini disebabkan karena terdapat banyak faktor atau kekuatan kekuatan yang berpengaruh terhadap proses pembuatan kebijaksanaan.
Untuk itu uraian berikut ini akan membahas tentang perumusan masalah kebijaksanaan negara:
1. Perumusan Masalah Kebijaksanaan Negara
Banyak orang menduga bahwa masalah masalah kebijaksanaan negara itu selalu siap ada di hadapan pembuatan kebijaksanaan dan dari situlah seolah olah proses perumusan masalah dapat dimulai, tapi sebetulnya kebanyakan para pembuat kebijaksanaan harus mencari dan menentukan identitas masalah kebijaksanaan itu dengan susah payah kemudian ia dapat merumuskan masalah kebijaksanaan negara itu dengan benar.
Dalam kegiatan politik istilah masalah sering diberi arti yang sangat sederhana, sehingga kurang tepat. Charles Ozone pernah mengatakan Peristiwa peristiwa yang terjadi dalam masyarakat diartikan secara berbeda beda oleh orang orag yang berbeda pada waktu yang berbeda beda pula.
James E Anderson dengan mengutip pendapat David G Smith memberikan pernyataan sebagai berikut:
“Untuk kepentingan kebijaksanaan, suatu masalah dapat diartikan secara formal sebagai kondisi atau situasi yang menghasilkan kebutuhan kebutuhan atau ketidakpuasan ketidakpuasan pada rakyat untuk mana perlu dicari cara cara penanggulangannya. Hal ini dilakukan oleh mereka yang secara langsung terkena akibat oleh masalah itu atauoleh orang lain yang punya tanggungjawab untuk itu.
Jones, mengartikan peristiwa sebagai suatu kegiatan kegiatan manusia atau alam yang dipandang memiliki konsekuensi pada kehidupan sosial dan mengartikan masalah sama dengan pendapat Smith diatas yaitu: kebutuhan kebutuhan manusia yang harus diatasi/dipecahkan.
Ada 2 problem yaitu problem umum dan privat, Problem Umum adalah masalah masalah yang mempunyai akibat yang luas termasuk akibat akibat yang mengenai orang yang secara tidak langsung terlibat. Sedangkan Problema Privat adalah masalah masalah yang mempunyai akibat yang terbatas atau hanya menyangkut pada satu atau sejumlah kecil orang yang terlibat secara langsung. Anderson memberikan gambaran bahwa suatu problema baru akan menjadi problema problema kebijaksanaan bila problema problema itu dapat membangkitkan orang banyak untuk melakukan tindakan terhadap problema problema itu.
Sehubungan dengan itu maka langkah pertama yang harus dilakukan oleh setiap pembuat kebijaksanaan adalah mengidentifikasikan problema yang akan dipecahkan kemudian membuat perumusan yang sejelas jelasnya terhadap problema tersebut.
Kalau dipandang dari sudut pembuat keputusan, sebagaimana dikatakan tadi ia harus mampu mengidentifikasikan masalah, karena hal itu merupakan kegiatan yang sangat penting dalam proses pembuatan keputusan.
Perumusan masalah secar benar dengan demikian merupakan tugas yang berat bagi pembuat kebijaksanaan negara. Ia harus mempunyai kapasitas untuk itu, karena bukanlah proses perumusan kebijaksanaan negara dimulai dengan kegiatan merumuskan masalah secara benar. Dan keberhasilan atau kegagalan dalam melaksanakan kegiatan ini akan sangat berpengaruh pada proses pembuatan kebijaksanaan seterusnya.
2. Penyusunan Agenda Pemerintah
Jumlah problema problema umum begitu banyaknya sehingga tidak dapat dihitung, tetpai dari sekian banyak problema umum itu, hanya sedikit sekali yang memperoleh perhatian yang seksama dari pembuat kebijaksanaan negara.
Roger W Cobb dan Charles D.Elder membedakan antara Systemic agenda dan Governmental Agenda. Mereka mengartikan Systemic Agenda sebagai berikut “Agenda sistemik terdiri atas semua isyu isyu yang dipandang secara umum oleh anggota anggota masyarakat politik sebagai patut memperoleh perhatian dari publik dan mencakup masalah masalah yang berada dalam kewenangan kewenangan sah setiap tingkat pemerintah masing masing.
Menurut Cobb and Elder ada 3 prasyarat agar isyu kebijaksanaan itu dapat masuk atau tampil dalam agenda sistemik yaitu:
a. Isyu itu memperoleh perhatian yang luas atau setidak tidaknya menimbulkan kesadaran masyarakat
b. Adanya persepsi dan pandangan/pendapat publik yang luas bahwa beberapa tindakan perlu dilakukan untuk memecahkan masalahitu
c. Adanya persepsi yang sama dari masyarakat bahwa masalah itu adalah merupakan suatu kewajiban dan tanggungjawab yang sah dari beberapa unit pemerintahan untuk memecahkannya.
Anderson menyebutkan beberapa faktor yang dapat menyebabkan problema umum, dapat masuk kedalam agenda pemerintah, yaitu sebagai berikut:
a. Bila terdapat ancaman terhadap keseimbangan antar kelompok, maka kelompok kelompok tersebut akan mengadakan reaksi dan menuntut tindakan pemerintah untuk mengambil prakarsa
b. Kepemimpinan politik dapat pula menjadi suatu faktor yang penting dalam penyusunan agenda pemerintah
c. Timbulnya krisis atau peristiwa yang luar biasa dapat pula menyebabkan masalah tersebut masuk keedalam agenda pemerintah
d. Adanya gerakan gerakan protes termasuk tindakan kekerasan
e. Masalah masalah khusus atau isyu isyu politis yang timbul dimasyarakat yang menarik perhatian media massa
Menurut Cobb dan Elder, agenda kebijaksanaan itu dapat berisi hal hal lama ataupun hal hal baru, tetapi bagi setiap pembuat kebijaksanaan di negara yang menganut paham demokrasi dan orientasi pada terbentuknya negara kesejahteraan yang pasti mereka dituntut untuk peka terhadap segala macam problema yang dihadapi dan mempunyai kewajiban dalam menuntaskan setiap permasalahan tersebut.
3. Perumusan Usulan Kebijaksanaan Negara
a. Mengidentifikasikan Alternatif
Sebelum pembuat kebijaksanaan merumuskan usulan kebijaksanaanya, maka terlebih dahulu harus melakukan identifikasi terhadap alternatif alternatif untuk kepentingan pemecahan masalah tersebut.
b. Mendefinisikan dan merumuskan alternatif
Tujuannya agar masing masing alternatif yang telah dikumpulkan para pembuat kebijaksanaan itu nampak dengan jelas pengertiannya, semakin jelas alternatif itu didefinisikan maka akan semakin mudah pembuat kebijaksanaan menilai dan mempertimbangkan aspek positif dan negatifnya.
c. Menilai alternatif
Adalah kegiatan pemberian bobot (harga) pada setiap alternatif, sehingga nampak dengan jelas bahwa setiap alternatif mempunyai nilai bobot kebaikan dan kekurangannya masing masing.
d. Memilih alternatif yang memuaskan
Kegiatan memilih alternatif yang memuaskan bukanlah semata mata bersifat rasional tetapi juga emosional, memilih alternatif bukan hanya untuk kepentingan dirinya tapi juga untuk kepentingan rakyat banyak.
Kebijaksanaan negara banyak dipengaruhi oleh pihak dalam dan luar. Pihak yang terlibat dalam kebijaksanaan negara itu sangat tergantung dari sistem politik negara yang bersangkutan. Seperti sistem kebijaksanaan Indonesia terdiri dari:
1) Infrastruktur Politik yang terdiri dari partai politik, kelompok kepentingan, media massa dan masyarakat.
2) Suprastruktur Politik yang sesuai dengan UUD 1945 seperti presiden.DPR.MPR dll.
4. Pengesahan Kebijaksanaan Negara
Proses pembuatan keputusan dapat di pandang atau dianalisis baik dari proses perseorangan yaitu bila yang membuat dan sekaligus mengesahkan keputusan itu adalah diri orang itu sendiri, ataupun proses bersama dimana terlibat berbagai macam pihak dari berbagai macam institusi dalam proses pembuatan keputusan dan pengesahannya.
Sebagai suatu proses kolektif, suatu usukan kebijakan dapat dibuat oleh pembuat keputusan (baik berupa orang atau badan) dapat saja keputusan itu di setujui atau ditolak oleh pengesah kebijakan. Sekali usulan kebijaksanaan diberikan legitimasi oleh seorang atau badan yang berwenang, maka kebijaksanaan itu dapat dipaksakan pelaksanaannya bagi orang-orang atau pihak-pihak yang menjadi sasaran dari kebijaksanaan.
Proses pembuat kebijakan tidak dapat dipisahkan dengan proses pengesahan kebijaksanaan. Keduanya memmpunyai hubungan yang sangat erat sekali sehingga tidak mungkin untuk dipisahkan dalam suatu proses kolektif. Sebagian kebijakan segara dibuat oleh pejabat Negara dan kebijaksanaan Negara itu dipandang sah karena pejabat Negara itu telah memiliki otoritas legal untuk membuat dan melaksanakan kebijaksanaan sesuai dengan standard an ketenuan-ketentuan yang berlaku. Dan sebagian lagi kebijaksanaan Negara yang diusulkan oleh pembuat kebijaksanaan dan barulah sahbdapat dilaksanakan dan bersifat mengikat bila telah mendapat persetujuan atau pengesahannya dari pejabat/badan yang berwenang untuk itu.
Proses pengesahan kebijaksanaan itu adalah proses penyesuaian dan penerimaan secara bersama terhadap prinsip-prinsip yang di akui dan ukuran-ukuran yang diterima. Selain itu proses pengesahan kebijaksanaan biasanya di awali dengan kegiatan persuasion dan bargaining. Persuasion diartikan oleh Anderson sebagai usaha-usaha untuk menyakinkan orang lain tentang suatu kebenaran atau nilai kedudukan seseorang dan sehingga mereka mau menerimanya sebagai miliknya sendiri. Bargaining dapat diartikan sebagai suatu proses dimana dua orang atau lebih yang mempunyai kekuasaan atau otoritas mengatur/menyesuaikan setidak-tidaknya sebagian tujuan-tujuan yang tidak mereka sepakati agar dapat merumuskan serangkaian tindakan yang dapat diterima bersama tetapi tidak perlu terlalu ideal bagi mereka.
Pengesahan kebijaksanaan sebagai suatu poses kolektif banyak dilakukan oleh badan legislative. Badan legislatif ini sengaja dibentuk untuk menyuarakan kepentingan rakyat dan oleh karena itu maka anggota-anggota yang duduk daalm badan ini adalah merupakan pilihan wakil-wakil rakyat. Biasanya usulan kebijaksanaan banyak disampaikan oleh badan eksekutif, maka ratifikasi terhadap usulan itu sehingga menjadi keputusan kebijaksanaan banyak dilakukan oleh badan legislative.
sekali lagi kebijaksanaan di buat bukan untuk kepentingan pembuat kebijaksanaan tetapi bagi kepentingan rakyat banyak. Esensi kebijakan Negara adalah seperti itu.
5. Pelaksanaan Kebijaksanaan Negara
Sebagai mana telah dikatakan bahwa sekai usulan kebijaksanaan telah diterima dan di sahkan oleh pihak yang berwenang maka keputusan itu telah siap untuk diimplementasikan.
Beberapa kebijaksanaan bersifat “self-exekuting” artinya dengan dirumuskannya kebijaksanaan itu sekaligus kebijaksanaan itu terimplementasikan. Contoh nya seperti kebijaksanaan suatu Negara yang mengakui secara formal kemerdekaan Negara baru, dan menurut Thomas R. Dye “yang dipilih oleh pemerintah untuk tidak dilakukan” pun termasuk kebijaksanaan Negara.
Untuk mengetahiu lebih jauh tentang bentuk/jenis kebijaksanan Negara, para sarjana ilmu politik telah membuat sejumlah tipologi umum untuk mengkategorisasikan kebijaksanaan Negara. Adapun kategorisasi kebijaksanaan Negara itu adalah sebagai berikut :
 Substantive dan Procedural Policies.
Subtansive Policies adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan tentang apa yang ingin dilakukan oleh pemerintah dan yang menjadi tekanan adalah subjeck-matternya.
Procedural Policies adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan tentang siapa tau pihak mana saja yang terlibat dalam perumusan kebijaksanaan serta cara bagaimana perumusan kebijaksanaan itu dilaksanakan.
 Dostributive, Re-Distributive, Regulatory dan Self Regulatory Policies.
Distributive Policies adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan tentang pemberian pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan bagi sejumlah khusus penduduk.
Re-Distributive Policies adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan yang sengaja dilakukan pemerintah untuk memindahkan pengalokasian kekayaan, pendapat, pemilikan, atau hak-hak diantara kelas-kelas dan kelompok penduduk.
Regulatory Policies adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan tentang pengenaan pembatasan atau larangan-larangan pembuatan atau tindakan-tindakan/prilaku bagi seseorang atau sekelomok orang.
Self-Regulatory Policies adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan tentang pembatasan-pembatasan atau pengawasan pembuatan pada masalah-masalah tertentu bagi sekelompok orang.
 Material dan Symbolic Policies.
Material Policies adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan tentang pengalokasian atau penyediaan sumber-sumber material yang nyata atau kekuasaan yang hakiki bagi para penerimanya atau mengenakan beban-beban bagi yang harus mengalokasikannya.
Syimbolic Policies adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan yang bersifat tidak memaksa karena kebijaksanaan itu apakah akan memberikan keuntungan atau kerugian hanbya memiliki dampak yang relative kecil bagi masyarakat.
 Collective Goods dan Private Goods Policies.
Collective Goods Policies adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan tentang penyediaan bavrang-barang dan pelayanan-pelayanan keperluan orang banyak.
Private Goods adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan tentang penyediaan barang-barang atau pelayanan-pelayanan hanya bagi perseorangan yang tersedia di pasaran bebas dan orang yang memerlukannya harus membayar biaya tertentu.
 Liberal dan Conservative Policies.
Liberal Policies adalah jenis kebijaksanaan yang menganjurkan pemerintah untuk mengadakan perubahan-perubahan social terutama yang diarahkan untuk memperbesar hak-hak persamaan.
Conservative Policies adalah lawan dari kebijaksanaan liberal. Menurut pahan konservatif aturan social yang ada cukup baik tidak perlu adanya perubahan social atau kalau perubahan social diperlukan harus diperlambat dan berjalan secara alamiah.
Dari uraian diatas jelas sekali bentuk/jenis kebijaksanaan nebgara itu bermacam-macam. Walaupun kebijaksanaan Negara ada yang bersifat self-executing, tetapi paling banyak adalah non self-executing artinya kebijaksanaan Negara perlu diwujudkan dan dilaksanakan oleh berbagai pihak sehingga nampak efeknya. Pihak-pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan kebijaksanaan Negara itu banyak ragamnya. Terutama sekali peranan eksekutif, birokrat dan bedan-badan pemerintah besar sekali dalam mengimplementasikan kebijaksanaan Negara ini. Disamping itu juga para angota legislative, yudukatif, kelompok-kelompok kepentingan dan warga Negara berperan juga. Jelas sekali banyak pihak yang terlibat dalam proses implementasi kebijaksanaan Negara.
Di Negara kita setiap peraturan-perundang atau kebijaksanaan-kebijaksanaan Negara yang lain setelah disahkan biasanya ditaruh dalam lembaran-lembaran atau dibukukan dalam arsip nasional. Hal ini kurang menjamin kelancaran penyebarluasan kebijaksanaan nebgara kepada measyarakat. Peranan media-massa baik milik pemerintah maupun milik swasta masih belum banyak menunjang atau dimanfaatkan dalam menyebarluaskan kebijaksanaan Negara secara optimal. Media-massa pengumam lainpun masih belum banyak digarap untuk maksud ini. Tidak mengherankan kalau masih terdapat banyaknya anggota masyarakat kita yang tidak tahu tentang kebijaksanaan Negara yang ada.
Disamping hal tersebut di atas kiranya perlu diketahui pula tentang sebab-sebab mengapa setiap angota masyarakat itu perlu mengetahui dan melaksanakan kebijaksanaan Negara. Anderson menjelaskan tentang hal-hal ini sebagai berikut :
 Respek anggota masyarakat terhadap otoritas dan keputusan-keputusan badan pemerintah.
 Adanya kesadaran unuk menerima kebijaksanaan.
 Adanya keyakinan bahwa kebijaksanaan itu dibuat secara sah, konstitusional dan dibuat oleh pejabat pemerintah yang berwenang untuk itu serta melalui prosedur yang benar.
 Adanya kepentingan pribadi.
 Adanya hukuman-hukuman tertentu bila tidak melaksanakan kebijaksanaan.
 Masaah waktu.
 Kebijaksanaan yang bertentangan dengan system nilai masyarakat.
 Adanya konsep ketidak-patuhan selektif terhadap hukum.
 Keanggotn seseorang dalam suatu perkumpulan atau kelompok.
 Keinginan untuk mencari untung dengan cepat.
 Adanya ketidak pastian hukum.

6. Penilaian Kebijaksanaan Negara
Penilaian kebijaksanaan adalah merupakan lan gkah terakhir dari suatu proses kebijaksanaan. Sebagai salah satu aktivitas fungsional, penilaian kebijaksanaan tidak hanya dilakuakan dengan mengikuti ktivitas-aktivitas sebelumnya yaitu pengesahan dan pelaksanaan kebijaksanaa, tetapi dapat terjadi pada seluruh aktivitas-aktivitas fungsional yang lain daalmproses kebijakan. Dengan demikian penilaian kebijaksanaan dapat mencakup tentang: isi kebijaksanaan pelaksanaan kebijaksanaan dan dampak kebijaksanaan.
Cahrles O. Jones mengartikan penilaian kebijaksanaan sebgai suatu aktifitas yang dirancang unjtuk menilai hasil-hasil program pemerintah yang mempunyai perbedaan-perbedaan yang sangat penting dalam spesifikasi objeknya : teknik-teknik pengukurannya dan metode analisanya. Dari sudut spesifikasi objeknya berarti menilai hail berbagai macam program-program yan dilaksanakan pemerintah sesuai dengan problema yang dihadapi oleh masyarakat. Dari sudut teknik-teknik penilaian yaotu cara-cara untuk memperoleh/mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk menilai hasil program-program pemerintah tadi.
Kemudian dari sudut metode analisanya akan dapat menunjukkan hsil akhir dari kegiatan menilai program-program pemerintah tersebut, yaiotu apakah efektif atau tidak, mempunyai dampak positif yang lebih besar dari dari dampak negatifnya atau sebaliknya.
Penilaian kebijaksanaan Negara banyak dilakukan untuk mengetahui dampak kebijaksanaan Negara.dan dampak kebijaksanaan itu mempunyai beberapa dimensi, dimana hal ini harus dipertimbangkan dengan seksama dalam melaksanakan penilaian terhadap kebijaksanaan Negara. Adapun menurut Anderson, dimensi dampak kebijaksanaan Negara itu adalah sebagai berikut :
 Dampak kebijaksanaan yang diharapkan atau tidak diharapkan baik pada problemnya maupun pada masyarakat.
 Limbah kebijaksanaan terhadap situasi atau orang-orang yang bukan yang menjadi sasaran/tujuan utama dari kebijaksanaan tersebut.
 Dampak kebijaksanaan dapat terjadi atau berpengaruh pada kondisi sekarang atau kondisi yang akan dating.
 Dampak kebijaksanaan terhadap “biaya” tidak langsung sebagaimana yang dialami oleh anggota-anggota masyarakat.
Penilaian terhadap kebijaksanaan Negara seringkali menunjukkan bahwa kebijaksanaan Negara tersebut tidak mencapi hasil atau memperoleh dampak yang diharapkan. Tidak tercapainya tujuan kebijaksanaan ini di sebabkan oleh adanya factor-faktor sebagai berikut :
a. Tersedianya sumber-sumber yang etrbatas, baik tenaga, biaya, material, waktu dan sebagainya.
b. Kesalahan dalam pengadmistrasian kebijaksanaan-kebijaksanaan Negara akan dapat mengurangi tercapainya dampak kebijaksanaan Negara.
c. Problema-problema public seringkali timbul karena adanya berbagai macam factor sedangkan kebijaksanaan seringkali dirumuskan hanya atas dasar salah satu dan sejumlah kecil factor-faktor tersebut.
d. Mnasyarakat memberikan reson atau melaksanakan kebijaksanaan Negara dengan cara-caranya sendiri sehingga dapat mengurangi atau menghilangkan dampaknya.
e. Adnya beberapa kebijaksanaan Negara yang mempunyai tujuan bertentangan satu sama lain.
f. Adanya usaha-usaha untuk memecahkan bebearpa masalah tertentu yang memakan biaya lebih besar dari masalah-masalah sendiri.
g. Banyaknya problema-problema public yang tidak dapat dipecahkan secara tuntas.
h. Terjadinya sifat permasalahan ketika kebijaksanaan sedang dirumuskan atau dilaksanakan.
i. Adanya masalah-masalah baru yang lebih menarik dan dapt mengalihkan perhatian orang dari masalah-masalah yang telah ada.

Mengingat pentingnya masalah dampak kebijaksanaan Negara ini, maka pembuat kebijaksanaan Negara harus senantiasa manilai dampak dari kebijaksanaan yang telah dibuat dan dilakasanakannya. Berdasarkan pendekatan system politik, dampak kebijaksanaan baik yang positif maupun yang negative akan difungsikan sebagai umpan balik dan di masukkan ke dalam masukan dalam proses perumusan kebijaksanaan Negara berikutnya.
Menjadikan dampak kebijaksanaan sebagai masukan dalam proses perumusan kebijaksanaan akan dapat meningkatkan mutu/kualitas kebijaksanaan.

BAB V
SISTEM NILAI DAN KEBIJAKSANAAN NEGARA

1. Peranan sistem nilai dalam perumusan kebijaksanaan negara.
Sistem nilai adalah kaitan dan kebulatan nilai-nilai , norma-norma dan tujuan-tujuan yang telah mapan yang terdapat dalam masyarakat. Suatu yang bernilai berarti suatu yang mempunyai harga atau bobot tertentu. Dengan demikian fungsi nilai adlah sebagai pendorong dan sekaligus pembatas tindakan manusia, atau nilai-nilai tersebut di angap mempunyai nilai-nilai manfaat atau nilai guna bagi masyarakat.
Artinya nilai-nilai tersebut lalu berwujud kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan, tuntutan-tuntutan dan sebagainya dari masyarakat yang harus terpenuhi. Dalam masyarakat terdapat banyak sekali macam nilai baik itu yang sama atau yang bertentangan dengan yang lain. Kebijaksanaan negara pada hakikatnya adlah keputusan untuk memilih nilai terbaik dari sekian nilai yang ada.
Perumusa kebijkana pada prinsipnya berhubungan dengan proses pengidentifikasian dari penganalisaan nilai-nilai yang beraneka ragam kemudian menentukan nilai-nilai yang relevan dengan kepentingan masyarakat.pembuat kebijkasanaan tidak hanya berfungsi menciptakan adanya keseimbanagan dianatara kepentingan-kepentingan yang berbeda tetapi ia juga berfungsi sebagai penilai. Artinya ia harus mampu menciptakan adanya nilai yang dapat di sepakati bersama yang didasarkan pada penilaian-penilaian rasional. Maka sistem nilai memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam perumusan kebijaksanaan negara.
Dalam mebuat kebijakan seringkali pembuat kebijkan mengalami konflik nilai, nilai-nilai yang di anutnya kadang sering kali bertentangan dengan nilai-nilai kebijkasanaan, atau sebaliknya. Maka dalam kondisi seperti itu pembuat kebijkasanaan harus memilki tanggung jawab moral yang tinggi untuk dapat membuat kebijkan negara yang berorientasi pada masyarakat. Karena sekali kebijkan di buat maka dampaknya bukan hanya akan terkena pada si pembuatnya saja, tetap paling besara adalah kepada rakyat yang menjadi sasaran , baik langsung maupun tidak langsung.
Karena menurut David Easton nilai-nilai kebijaksanaa itu nantinya akan di alokasikan secara otoritatif kepada seluruh anggota masyarakat, dan masyarakat mau atau tidak harus menerima konsekuensi-konsekuensi dari kebijaksanaan-kebijaksanaan itu.
2. Pancasila dan perumusan kebijaksanaan negara indonesia.
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa indonesia di landaskan pada nilai-nilai moral yang telah berakar dalam kepribadian bangsa. Dan pancasila merupakan sistem nilai yang mengilhami dan membimbing alam pikiran dan cita-cita hidup bangsa indonesia.
Karena pancasila telah merupakan pandangan hidup bangsa indonesia, maka ia di terima sebagai dasar negara yang mengatur hidup ketatanegaraan indonesia. Dengan demikian maka konsekuensinya adlah pancasila adalah merupakan sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di indonesia.
Dalam kaitannya dengan ini, maka pancasila memberikan landasan pedoman bagaimana negara di atur, bagaimana seharusnya pemerintah melaksanakan hak dan kewajibannya, apa yang boleh di lakukan negara dan apa yang tidak boleh di lakukan, apa hak dan kewajiban warga negara dan lain sebagainya.
Maka dengan demikian untuk mencapai pada tujuan dari nilai-nilai pancasila tersebut maka setiap penyelenggara negara baik pusat dan daerah harus melandaskan sikap dan tindakannya pada nilai-nilai norma pancasila tersebut. Atau pejabat sebagai pemimpin bangsa dan negara itu dalam menjalankan kepemimpinannya harus bersumberkan pada nilai-nilai pancasila, sehinga terpancarlah gaya pemerintahan yang pancasilaistis. Yang mencerminkan sikap konsisten dan konsekuen dalam menghayati dan mengamalkan pancasila.
Evaluasi atau penilaian terhadap kebijaksanaan negara berpedoman pada nilai-nilai pancasila. Sehingga suatu kebijkan negara di katakan baik kalu dalam perumusannya berdasarkan prinsip-prinsip pancasila dan tujuan sesuai dengan apa yang di kehendaki oleh pancasila. Salah satu prinsip pancasila yang harus di pegang teguh dalam pengambilan keputusan adalah prinsip “musyawarah untuk mufakat yang diliputi oleh semangat kekeluargaan”. Kareana prinsip inilah juga yang merupakan menjadi tulang punggung sistem demokjrasi pancasila. Ia bercirikan pada univesalitas cita-cita demokrasi pada umumnya yang di padukan dengan cita-cita hidup bangsa indonesia yang dijiwai oleh semangat kekluargaan.

4. Komentar Tentang Isi Buku
Prinsip-prinsip perumusan kebijaksanaan negara menjelaskan tentang beberapa paradigma administrasi negara, administrasi negara sebagai proses politik, kebijaksanaan negara dan kepentingan publik dan pengertian kebijakan publik. Dalam penjelasan mengenai paradigma administrasi negara di jelaskan cukup jelas, serta penjelasan tentang perkembangan paradigma itu sendiri. Administrasi dalam proses politik sudah jelas bahwa administrasi sangatlah diperlukan dalam proses politik,pengaruh dan peranannya sangatlah berperan bagi proses politik. Serta bagaimana hubungan antara adanya kebijaksanaan publik terhadap kepentingan publik, serta pengertian dari kebijaksanaaan publik itu sendiri. Dari berbagai pengertian kebijaksanaan publik tersebut dapat disimpulkan bahwa hubungan antara adanya kebijaksanaan publik terhadap kepentingan publik itu sendiri, tujuan dari kebijaksanaan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Kemudian dalam pembahasan selanjutnya, dimana dijelaskan perbedaan dan persamaan antara pembuatan keputusan dan perumusan kebijkasanaan. Jelas ditegaskan bahwa setiap perumusan kebijaksanaan pastilah tentu itu juga merupakan pembuatan keputusan, namun tidak setiap pembutan keputusan merupakan perumusan kebijksanaan. Serta terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijksanaan/keputusan, seperti adanya tekanan-tekanan dari luar, faktor individu, faktor kebiasaan lama, pengaruh dari kelompok lain dan pengaruh dari keadaan masa lalu.
Kebijaksanaan suatu negara haruslah dibarengi dengan sikap tegas, adanya kebijaksanaan bukan berarti menghilangkan sanksi dan hukum yang ada. Kebijaksanaan pun haruslah mementingkan kepentingan masyarakat banyak jangan hanya mementingkan kepentingan politk atau golongan. Meskipun banyak model-model yang baik dalam perumusan kebijaksanaan negara apabila aktor-aktor yang mengiplementasikannya belum siap, dan masyarakatnya belum mendukung maka kebijakan pun tidak akan terlaksana dengan baik.
Sistem nilai yang terkandung dalam buku ini, merupakan suatu hal penting dalam suatu proses kebijaksanaan yanng dimana dengan nilai-nilai tersebut dapat mengakomodir apa yang menjadi kebutuhan masyarakat yang dapat diadopsi untuk menjadi sebuah kebijakan publik.
Nilai pancasila sebagai landasan dasar negara indonesia, yang harus dijadikan suatu bagian dalam pperumusan kebijakan, karena dalam pancasila tersebut mengandung filosofi yang sangat tinggi untuk dijadikan pedoman dalam perumusan kebijaksanaan dengan mengedepankan semangat kebersamaan, musyawarah untuk mufakat dan kekeluargaan.

5. Kesimpulan dan Rekomendasi
Sebuah kebijakan lahir karena ada suatu masalah yang hendak dipecahkan (Abidin, 2004:103). Oleh karena itu, kebijakan merupakan alat atau cara untuk memecahkan masalah yang sudah ada sehingga dalam hal ini yang menjadi dasar pembuatan kebijakan adalah masalah. Jika tidak ada masalah tidak perlu ada suatu kebijakan baru.
Kebijakan sebagai instrumen pengelolaan pemerintahan merupakan mata rantai utama dalam operasionalisasi fungsi kepemerintahan (governance). Sebagai mata rantai utama, jika kebijakan itu keliru atau tidak tepat dalam menangani persoalan di dalam negara, konsekuensinya adalah kegagalan pemerintah dalam fungsi implementatifnya. Permasalahan kebijakan yang terjadi umumnya baru dirasakan saat sebuah kebijakan tersebut dilaksanakan, para pembuat kebijakan (policy maker) atau pelaksana (implementor) baru menjerit dan sadar akan kesalahannya ketika terjadi kondisi implementasi yang buruk (bad implementation).
Perumusan kebijaksanaan Negara akan lebih mudah dipelajari apabila menggunakan sesuatu pendekatan atau model tertentu. Para ahli politik telah mengembangkan berbagai macam pendekatan atau model yang akan dapat membantu kita untuk memahami kehidupan pilitik (political life), pemerintahan, proses kebijaksanaan, dan sebagainya seperti dari Yehezkel, Nicholas Henry dll
Sedangkan Evaluasi atau penilaian terhadap kebijaksanaan negara berpedoman pada nilai-nilai pancasila. Sehingga suatu kebijkan negara di katakan baik kalau dalam perumusannya berdasarkan prinsip-prinsip pancasila dan tujuan sesuai dengan apa yang di kehendaki oleh pancasila. Salah satu prinsip pancasila yang harus di pegang teguh dalam pengambilan keputusan adalah prinsip “musyawarah untuk mufakat yang diliputi oleh semangat kekeluargaan”.
Kareana prinsip inilah juga yang merupakan menjadi tulang punggung sistem demokjrasi pancasila. Ia bercirikan pada universalitas cita-cita demokrasi pada umumnya yang di padukan dengan cita-cita hidup bangsa indonesia yang dijiwai oleh semangat kekluargaan.
Rekomendasi





















RESUME BUKU
PRINSIP PRINSIP
PERUMUSAN KEBIJAKSANAAN NEGARA
PENGARANG DR.M.IRFAN ISLAMY, M.P.A
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok
Pada Mata Kuliah Kebijakan Publik

KELOMPOK 1
Aan Darwati (208 800 001) Asep Gunawan (208 800 017)
Aden M Faisal (208 800 005) Denda Muaziz (208 800 020)
Agus Rukanda (208 800 007) Didin Wahyudin (208 800 025)
Andi Sadikin (208 800 010) Eka Abdurahman (208 800 029)
Aris Munandar (208 800 014) Fikri Saeful Rahman (208 800 032)

JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA/A/V
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2010

1 komentar: